METODE
ANALISA MANAGEMENT
LABORATURIUM
VITAMIN
Di
susun oleh:
1.
Bias Nur Elmira (105080301111046)
2.
Achmad Fathony (105080301111043)
3.
Dessy Puspitasari (105080301111042)
4.
Nuzul Yoga Hapsari (105080301111050)
5.
Nandar Hardika (105080301111055)
6.
Adiwira Sandrikanata (105080303111002)
7.
Chamim Chabibi (105080313111011)
8.
Moch. Ahda S (105080301111038)
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT. Karena rahmat, karunia, hidayah, inayah dan magfirah-Nya, Tugas
paper tentang Vitamin ini dapat terselesaikan. paper ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Metode Analisa Managemen Laboraturium. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kami sampaikan kepada:
- Kedua orang tua dan keluarga yang
telah memberikan doa dan support dalam pengerjakan tugas Metode Analisa
Managemen Laboraturium ini.
- Dosen mata kuliah Metode
Analisa Managemen Laboraturium yang telah memberikan materi.
Saya merasa
dalam pembuatan paper ini sangat jauh dari sempurna, sehingga diharapkan saran
dan kritik yang membangun untuk paper ini. Dan semoga gagasan ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Malang, 8 Juni 2013
Penulis
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Vitamin
adalah suatu zat senyawa kompleks yang sangat dibutuhkan oleh tubuh kita yang
berfungsi untuk mambantu pengaturan atau proses kegiatan tubuh. Tanpa vitamin
manusia, hewan dan makhluk hidup lainnya tidak akan dapatmelakukan aktifitas
hidup dan kekurangan vitamin dapat menyebabkan memperbesar peluang terkena
penyakit pada tubuh kita.
Vitamin
memiliki peranan spesifik di dalam tubuh dan dapat pula memberikan manfaat
kesehatan. Bila kadar senyawa ini tidak mencukupi, tubuh dapat mengalami suatu
penyakit. Tubuh hanya memerlukan vitamin dalam jumlah sedikit, tetapi jika
kebutuhan ini diabaikan maka metabolism di dalam tubuh kita akan terganggu
karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Gangguan kesehatan
ini dikenal dengan istilah avitaminosis. Di samping itu, asupan vitamin juga
tidak boleh berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada
tubuh.
Dalam
penentuan apakah makanan itu mengandung vitamin apa tidak, diperlukan suatu
pengujian agar dapat mengetahui kadar vitamin yang ada seperti vitamin A, B1,
B2, B3, B5, B6, B8, B9, B12, C, D, E, dan K. Dengan mengetahui kadar vitamin
yang ada dalam bahan pangan, maka kita dapat mengetahui kadar vitamin yang
diperlukan oleh tubuh kita agar tidak terjadi kekurangan vitamin yang dapat
mengganggu kesehatan tubuh kita. Oleh karena itu dibuatlah paper ini untuk
mengetahui tentang jenis-jenis vitamin, ciri-ciri, sumber, struktur, dan
analisisnya agar pembaca mendapatkan referensi tentang vitamin.
1.2.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah pada paper ini adalah sebagai berikut:
-
Apa saja vitamin dan
manfaatnya?
-
Bagaimana struktur
vitamin itu?
-
Cara metabolisme
vitamin?
-
Bagaimana metode
analisis vitamin?
1.3.
Maksud
dan Tujuan
Maksud
dari paper adalah untuk mengetahui apa saja vitamin, struktur, dan prosesnya.
Sedangkan tujuannya yaitu agar pembaca dapat memperoleh informasi tentang
vitamin. Paper ini digunakan untuk memenuhi tugas metanal agar memperoleh nilai
yang baik.
2.
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Vitamin
Vitamin atau
vitamine mula-mula di utarakan oleh sang ahli kimia pola, dia yang bernama
Funk, yang percaya bahwa zat penangkal beri-beri yang larut dalam amina itu
adalah suatu amina yang sangat vital. Dan dari kata tersebut lahirlah istilah
vitamine atau vitamin. Kini vitamin dikenal sebagai suatu kelompok senyawa
organic yang tidak termasuk dalam golongan protein, karbohidrat, maupun lemak
dan terdapat dalam jumlah kecil dalam bahan makanan tapi sangat penting bagi
beberapa fungsi tubuh untuk menjaga kelangsungan kehidupan serta pertumbuhan
(Revan, 2011).
Vitamin adalah
bahan esensial yang diperlukan untuk membantu kelancaran penyerapan zat gizi
dan proses metabolisme tubuh. Kekurangan vitamin dapat berpengaruh bagi
kesehatan, karena itu diperlukan asupan harian dalam jumlah tertentu yang
idealnya bisa diperoleh dari makanan. Jumlah kecukupan asupan vitamin per hari
untuk perawatan kesehatan tersebut ditetapkan sebagai RDA (Recommended Daily
Allowance). Beberapa vitamin tertentu bila diberikan dalam dosis tinggi
mempunyai efek, antioksidan yang membantu sistem imunitas tubuh dalam
menetralkan benda asing yang berasal dari radikal bebas dan kuman penyakit. Dan
beberapa vitamin lain mempunyai efek penyembuhan, sebagai kebalikan dari
defisiensi yang terjadi akibat kekurangan vitamin tersebut (Kim, 2002).
Dalam penentuan
ada tidaknya vitamin alat yang dapat digunakan untuk mengukur kandungan asam
amino yaitu dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Alat HPLC dapat digunakan juga untuk analisis asam lemak sebagai komponen
penyusun lemak dan vitamin. Mengingat metode analisis sangat bervariasi baik
bahan yang digunakan maupun tingkat ketelitiannya, maka pemilihan dan penetapan
metode analisis merupakan suatu keharusan (hernawati, 2013).
2.2.
Jenis-jenis
Vitamin
Menurut Kim (2002),
jenis vitamin ada beberapa macam seperti berikut lengkap dengan informasinya:
2.2.1.
Vitamin
A
Pada tahun 1930,
T. Moore mengungkapkan kemampuan karoten, pigmen kuning pada wortel (Daucus
carota), yang juga dapat mencegah rabun senja. Rupanya karoten diubah oleh
tubuh menjadi vitamin A, sehingga disebut sebagai provitamin A. Jadi, untuk
menjaga kornea mata agar tetap sehat, asupan vitamin A (yang berperan pada
proses sistem visual) bisa didapatkan dari sumber hewani (retinol) maupun
nabati (karoten). Dari penelitian lebih lanjut diketahui banyak fungsi penting
lainnya dari vitamin A, selain untuk kesehatan mata. Untuk kesehatan jaringan
tubuh, vitamin A mempercepat proses penyembuhan luka. Dalam kegiatan pertumbuhan
dan perkembangan jaringan epitelial, vitamin A mempertahankan kesehatan dan
struktur kulit, rambut, dan gigi. Beberapa penyakit kulit seperti jerawat dan
psoriasis adalah sebagai akibat kekurangan vitamin A. Selanjutnya juga
diketahui peranan vitamin A sebagai antioksidan, yang membantu merangsang dan
memperkuat daya tahan tubuh dalam meningkatkan aktivitas sel pembunuh kuman
(natural killer cell), memproduksi limfosit, f agositis, dan antibodi. Bahkan
kegunaan vitamin A termasuk memperkuat kekebalan selular (sistem sel) yang
menghancurkan sel kanker. Selain itu vitamin A mencegah dan memperbaiki
penciutan kelenjar timus (kelenjar utama yang berperan dalam sistem imun) yang
terjadi sebagai akibat stress kronis. Fungsi tubuh lain yang dibantu oleh
vitamin A antara lain adalah sistem reproduksi, pembuatan dan aktivitas hormon
adrenalin, pembuatan dan aktivitas hormon tiroid, mempertahankan struktur dan
fungsi sel‐sel
saraf, menjaga kekebalan tubuh pada umumnya, serta memperbarui sel jaringan
tubuh. Banyak data dari riset menunjukkan hubungan antara vitamin A (dan karoten)dengan
pencegahan insidensi terjadinya kanker jaringan epitelial C jaringan pelindung
yang menjadi lapisan terluar dari organ tubuh), yaitu kanker paruparu, saluran
pencernaan, saluran kemih, dan kulit.
Sumber dari
makanan: Pangan sumber hewani (mengandung
retinol), adalah hati (ayam/sapi), ikan, susu, dan produk olahannya. Sedangkan
dari pangan nabati (mengandung karoten), adalah sayuransayuran hijau gelap
(bayam, katuk), sayur‐sayuran
kuning atau oranye (wortel, kentang, tomat, labu kuning), serta buah‐buahan.
Penggunaan : Untuk membantu
daya penglihatan (malam dan warna), dan mempertahankan kesehatan kulit dan
rambut.
Dosis : RDA untuk pria 1.000
IU, dan wanita 800 IU sehari. Untuk mengatasi gangguan penyakit tertentu,
misalnya infeksi atau peradangan, digunakan dalam dosis tinggi 5.000 IU sehari
selama infeksi, tetapi tidak lebih dari satu bulan pemakaian.
Perhatian :
Wanita hamil harus terlebih dahulu konsultasi suplementasi vitamin A dengan
dokter, karena dari riset terungkap bahwa vitamin A dengan dosis 10.000 IU
sehari dapat meningkatkan risiko kelainan pada janin.
2.2.2.
Vitamin B1
Vitamin B1
berfungsi sebagai koenzim (membantu kerja enzim) penting dalam sistem
metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi dari karbohidrat, lemak, dan
protein. Selain itu, vitaminB1 yang dikenal pula sebagai morale vitamine karena
mempunyai efek yang menguntungkan pada sistem saraf pusat serta sikap mental,
juga membantu. fungsi normal saraf pinggir, otot, dan jantung. Kekurangan
vitamin B1 sering terjadi pada usia lanjut, dengan gejala munculnya gangguan
sistem pencernaan yang berupa penyerapan buruk, sembelit (konstipasi), peka
atau tak tahan bahan makanan tertentu, dan hilangnya nafsu makan. Juga muncul
sebagai gejala gangguan saraf berupa penurunan daya ingat, gelisah, dan mati
rasa pada tangan dan kaki. Selain itu, menjadi sangat peka terhadap rasa nyeri,
koordinasi tubuh memburuk, dan lemah.
Sumber dari makanan:
Paling banyak ditemukan pada beras dan gandum utuh(terutama beras merah),
kuning telur, ikan, kacang‐kacangan,
dan polong-polongan.
Penggunaan : Untuk memelihara
fungsi saraf, mengoptimalkan aktivitas kognitif dan fungsi otak, membantu
proses metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan mengatur sirkulasi serta
fungsi darah.
Dosis
RDA : 1‐13 mg sehari, terapi
30‐100
mg sehari.
2.2.3.
Vitamin
B2
Vitamin B2
adalah komponen penting dari dua enzim utama dalam produksi energi pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Fungsinya yang lain adalah
membantu pertumbuhan dan reproduksi, menjaga kesehatan mata, serta menjaga
kesehatan kulit, kuku, rambut, mulut, bibir, dan tenggorokan. Kekurangan
vitamin B2 sering terjadi pada usia lanjut, mengakibatkan terjadinya gejala
penurunan daya penglihatan, katarak, depresi, gangguan kulit, pening, rambut
rontok, radang mata, lesi mulut, gelisah dan gejala neurologis (mati rasa,
hilang sensasi, seperti kena syok listrik). Gejala lainnya adalah kejang,
sensitif terhadap cahaya, mengantuk, dan lemah.
Sumber dari makanan : Pangan hewani
adalah hati, ginjal, dan jantung (ayam/sapi), sedangkan dari pangan nabati
adalah sayur‐sayuran
hijau.
Penggunaan : Untuk katarak,
gangguan pencernaan, kulit, dan depresi.
Dosis RDA : 1,7 mg sehari. Dosis terapi 25 mg
sehari.
Perhatian : Konsumsi yang
berlebihan dari vitamin B2 akan dibuang kembali oleh tubuh melalui urin dengan
warna kuning‐hijau
fluorecent (menyala).
2.2.4.
Niasin
(B3)
Niasin
berhubungan dengan kinerja saraf, ditemukan oleh C.A. Elvehjem dan rekan‐rekannya pada
tahun 1937. Kekurangan niasin akan menyebabkan gejala yang dikenal sebagai pellagra,
ditandai dengan terjadinya kulit pecah-pecah dan bersisik (dermatitis), otak
berfungsi tidak sempurna sehingga sering bingung (demensia), dan diare akibat
melemahnya produksi lendir pada sistem pencernaan. Sebagai koenzim dari NAD dan
NADP, niasin berperan dalam reaksi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Dengan enzim yang berbeda, niasin terlibat dalam 50 reaksi kimia yang berbeda
untuk menghasilkan energi, metabolisme lemak, kolesterol, dan karbohidrat,
serta pembuatan beberapa senyawa tubuh penting, seperti hormon seks dan
adrenalin. Dalam fungsinya tersebut, niasin adalah vitamin penurun lemak yang
mencegah penyakit jantung dengan menurunkan kadar kolesterol, dan memperbaiki
aliran darah pada kasus terjadinya penyumbatan pembuluh darah perifer. Bentuk
niasin yang efektif untuk pelindung jantung adalah sebagai senyawa inositol‐hexa‐niacinate.
Niasin tergolong vitamin non esensial dan dapat
dibuat oleh tubuh dengan mengubah triptofan sebagai bahan bakunya.
Sumber
dari makanan: Paling banyak terdapat pada hati,
daging (ayam/sapi),telur, ikan, kacang‐kacangan, susu, dan avokad.
Penggunaan :Untuk
membantu melepaskan energi dari makanan, mempertahankan kesehatan sistemsusunan
saraf dan rambut.
Dosis
RDA :
20 mg sehari.
2.2.5.
Asam Pantotenat (B5)
Defisiensi asam
pantotenat menyebabkan gejala nyeri otot, depresi, eksema, kelelahan, kerontokan
rambut, insomnia (sulit tidur), tekanan darah rendah, dan koordinasi buruk. Hal
tersebut banyak terjadi pada usia lanjut karena diet dan penyerapan yang buruk,
sehingga asupan asam pantetonat hanya mencapai tingkat 60% dari kebutuhan yang
dianjurkan (RDA). Kekurangan asam pantotenat dapat berakibat muntah, gangguan
saluran cerna, susah tidur, dan lelah. Walaupun banyak terdapat pada makanan, suplemen
asam pantotenat diperlukan untuk kasus tertentu, untuk membantu memperkuat
sistem imun dengan meningkatkan produksi antibodi.
Sumber dari makanan : Sumber hewani
adalah ikan, telur, susu, hati, ginjal (ayam/sapi),
semua
buah yang dibuat selai (kurma, kismis, pisang selai), dan khamir (yeast).
Sedangkan sumber nabatinya adalah ubi jalar, brokoli, kembang kol, jeruk,
stroberi, kacang‐kacangan,
dan gandum.
Penggunaan : Untuk membantu
melepaskan energi dari makanan, mempertahankan kesehatan jaringan dan rambut.
Dosis
RDA : 10 mg sehari.
2.2.6.
Vitamin
B6
Vitamin B6,
ditemukan P. Gyorgy pada tahun 1938, berperan dalam pembentukan protein tubuh,
sel‐sel
darah merah, prostaglandin, dan senyawa struktural yang berfungsi sebagai
transmiter kimia pada sistem saraf. Vitamin B6 juga penting dalam
mempertahankan keseimbangan hormon dan fungsi kekebalan tubuh. Selain itu, vitamin
B6 berperan sebagai koenzim dan terlibat dalam metabolisme asam amino. Kekurangan vitamin B6 ini
ditandai dengan gejala depresi, kejangkejang (terutama pada anak‐anak), tak tahan
gula (glucose intolerance), melemahnya saraf yang berhubungan dengan daya
ingat, anemia, dan gangguan
kulit (dermatitis).
Sumber dari makanan:
Paling banyak ditemukan pada khamir (ragi kering), daging, hati, ginjal, dan
jantung (ayam/sapi), susu, telur, unggas, ikan, kentang, ubi jalar, sayur‐sayuran, sereal,
gandum dan beras tumbuk, kacang‐kacangan,
pisang, kubis, dan kembang kol.
Penggunaan : Berperan dalam
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, menguatkan kekebalan tubuh, membantu
transmisi impuls saraf, menjaga keseimbangan elektrolit tubuh (natrium dan
kalium), merangsang pertumbuhan sel darah merah, dan membantu sintesa DNA dan
RNA.
Dosis
RDA : 2 mg sehari, terapi 25‐ 100 mg sehari.
2.2.7.
Biotin
(B8)
Biotin yang
berperan dalam produksi antibodi, disebut juga sebagai vitamin H, ditemukan
oleh M.A. Boas pada tahun 1927. Defisiensi
biotin dapat menimbulkan gangguan jantung, kurang nafsu makan, anoreksia,
mual, depresi, sakit otot, lemah, kulit kering bersisik, dermatitis, dan rambut
rontok. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan di bawah 6 bulan dapat muncul
gejala bisul, ketombe (seborrheic dermatitis), dan rambut rontok. Dalam
sistem pencernaan, biotin berperan sebagai koenzim (bagian enzim) dari berbagai
enzim metabolisme yang mengatur penggunaan lemak dan asam amino. Tanpa biotin,
metabolisme lemak dan asam amino dapat menjadi terganggu. Biotin termasuk
vitamin nonesensial yang disintesis oleh tubuh di saluran pencernaan.
Sumber dari makanan : Banyak
terdapat pada keju, hati, kedele, kembang kol, daging, susu, kacang tanah, sayuran,
pisang, tomat, jeroan, telur (terutama bagian kuningnya), jamur, kacang‐kacangan, dan
gandum lengkap. Namun, perlu diperhatikan bahwa putih telur mentah mengandung
avidin, yaitu suatu protein yang mengikat biotin, sehingga akan mencegah
penyerapan biotin oleh tubuh.
Penggunaan : Untuk mempertahankan
kesehatan kulit dan rambut.
Dosis
RDA : 300 mcg sehari.
2.2.8.
Asam Folat (B9)
Salah satu fungsi asam folat
adalah sebagai bahan pembentuk senyawa THF (tetrahidro‐folat), koenzim
yang diperlukan dalam sintesa DNA, dan pematangan sel darah merah. Asam folat
berperan dalam pencegahan penyakit jantung dan stroke dengan memecah homo‐sistein,
substansi dalam darah yang meningkatkan risiko penyakit tersebut. Dengan
mempertahankan kadar kolin (choline) yang berperan meningkatkan daya ingat,
asam folat membantu mencegah penyakit Alzheimer (gangguan pada daya ingat).
Dari perannya dalam membantu sintesa DNA, asam folat mencegah kanker dengan
memperbaiki kerusakan pada DNA yang menjadi awal dari perkembangan penyakit
ini. Defisiensi asam
folat dapat berakibat anemia makrositik, diare, mudah terkena infeksi, lidah
merah dan licin, depresi, gangguan mental, lelah, dan pingsan. Seharusnya
defisiensi ini tidak perlu terjadi, karena asam folat termasuk vitamin yang non‐esensial yang
disintesis di dalam saluran cerna, dan juga terdapat dalam jumlah cukup pada
bahan makanan sehari‐hari.
Sumber dari makanan : Banyak terdapat pada
hati, daging, ginjal, sayuran hijau, gandum, telur, ikan, kacang hijau, khamir.
Sumber lain adalah jeruk, stroberi, wheat germ, dan kacang‐kacangan.
Penggunaan :Untuk membantu
pembentukan sel darah merah, dan mempertahankan kesehatan sistem pencernaan.
Dosis RDA, untuk pria: 170 mcg, dan untuk wanita150 mcg sehari. Ibu hamil
disarankan untuk mendapatkan tambahan 400 mcg asam folat sehari, karena dari
penelitian terungkap bahwa asam folat dapat mengurangi risiko cacat bawaan pada
bayi.
2.2.9.
Vitamin
B12
Vitamin
B12 berperan dalam menjaga agar sel‐sel
berfungsi normal, terutama sel‐sel
saluran pencernaan, sistem saraf, dan sumsum tulang, serta memecah homo‐sistein (substansi
dalam darah yang meningkatkan risiko stroke dan penyakit Alzheimer). Kekurangan vitamin B12 akan
melemahkan fungsi saraf dengan akibat gejala berupa kaki bergetar, dan perasaan
terbakar. Pada orang lanjut usia kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan
kepikunan, depresi atau gangguan mental, anemia, dan diare. Vitamin B12 bekerja
sama dengan asam folat untuk proses‐proses
tubuh, termasuk sintesa DNA. Karena vitamin B12 bekerja mengaktifkan kembali
asam folat, maka kekurangan vitamin B12 juga akan berakibat terjadinya
kekurangan asam folat.
Sumber dari makanan:
Hati (ayam/sapi), daging, susu dan produk olahannya, telur, ikan, sayur,
kedelai dan produk olahannya (tahu, tempe, tauco, kecap), bekatul, dan rumput
laut.
Penggunaan : Untuk mengatur
pembentukan sel darah merah, mencegah kerusakan dinding saraf, sintesa DNA,
mengubah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi.
Dosis
RDA : 6 mcg sehari, terapi 5‐50 mcg sehari.
2.2.10.
Vitamin
C
Vitamin ini
mempunyai rasa asam, enak untuk dikonsumsi sehari‐hari, dan
fungsinya banyak sekali untuk kesehatan. Banyak bukti dari penelitian yang
mendukung fakta bahwa vitamin C memiliki peran penting dalam pelbagai mekanisme
imunologis. Kadarnya yang tinggi di dalam sel darah putih (10 sampai 80 kali
lebih tinggi dari kadar plasma), terutama limfosit, dengan cepat habis selama
infeksi. Kondisi tersebut mirip dengan kasus gusi berdarah bila kekurangan
vitamin C. Vitamin C membantu mencegah infeksi yang diakibatkan beberapa jenis
virus dan bakteri, menambah masa hidup, serta mengurangi terjadinya katarak.
Fungsi lain dari vitamin C adalah sebagai antioksidan, penghasil senyawa
transmiter saraf dan hormon tertentu, membantu memperbaiki sel tubuh dan
meningkatkan kerja enzim sebagai faktor penyerap dan pengguna zat gizi lainnya.
Juga mengurangi tekanan darah tinggi, menurunkan kolesterol darah, mengurangi
risiko penyakit jantung dengan melindungi kerusakan jantung dan pembuluh darah
yang disebabkan oleh makanan kaya lemak. Vitamin C juga mengurangi risiko
kanker dengan mengurangi kerusakan akibat radikal bebas pada DNA yang dapat
memicu kanker. Vitamin C adalah vitamin esensial, karena manusia tidak dapat
menghasilkan vitamin C sendiri, sehingga diperlukan asupan dari makanan. Pada
saat kita mengalami infeksi, dibutuhkan vitamin C dalam jumlah sangat besar
untuk membantu darah putih menghancurkan kuman penyerang. Karena Vitamin C
mudah rusak oleh udara, untuk mendapatkannya secara maksimal sebaiknya
mengkonsumsi buah atau sayur dalam keadaan segar dan sesegera mungkin(belum
terlalu lama dalam kondisi terbuka atau terkupas di udara bebas).
Sumber dari makanan:
Paling banyak ditemukan pada buah‐buahan,
seperti jambu biji, nenas, jeruk, tomat, mangga, dan sirsak. Sayuran ada juga
yang mengandung banyak vitamin C, yaitu bayam, brokoli, cabai, dan kentang.
Penggunaan : Untuk membantu
penyembuhan luka, penyerapan zat besi' dan kalsium, dan mempertahankan kesehatan
kulit dan jaringan.
Dosis RDA : untuk pria 60 mg, wanita: 60 mg sehari.
Untuk terapi sebagai antioksidan digunakan dalam dosis tinggi 500 ‐ 2.000 mg
sehari.
Perhatian : Vitamin C
dalam dosis tinggi dapat memberikan efek mengikis sampai melukai lambung dengan
akibat murus‐murus.
Untuk mengurangi pengaruh keasaman yang berlebihan dari penggunaan dosis tinggi
tersebut, kurangi atau bagilah dosisnya. Alternatif lain adalah menggunakan
Vitamin C dalam bentuk buffered (campuran bentuk asam dan garamnya), atau
teresterifikasi (Ester‐C).
Ester-CEster-C adalah vitamin C dalam bentuk garam organik (bentuk
teresterifikasi).Vitamin C yang biasa dalam kadar tinggi dapat menyebabkan efek
gangguan lambung (keasaman yang terlalu tinggi), hanya diserap sebagian dan
cepat dibuang tubuh. Ester‐C
memperbaiki semua kelemahan tersebut. Tidak mengganggu lambung, diserap lebih
cepat, serta lebih lama bertahan di dalam tubuh.
2.2.11.
Vitamin
D
Fungsi vitamin D adalah untuk perawatan tulang
dan gigi, dengan membantu penyerapan kalsium dan fosfor sebagai unsur pembentuk
struktur tulang tersebut. Seharusnya suplementasi Vitamin D tidak diperlukan,
karena selain diproduksi oleh tubuh dan diaktifkan oleh sinar matahari, vitamin
ini juga bisa didapatkan dari makanan. Namun, gaya hidup yang kurang terpapar
sinar matahari dan diet lanjut usia dapat mengakibatkan defisiensi Vitamin D
dengan gejala gelisah, sulit tidur,
dan risiko rapuh tulang (osteoporosis). Untuk perawatan tulang umumnya, dalam
banyak kasus vitamin D diberikan bersama dengan kalsium.
Sumber dari makanan:
Banyak ditemukan pada minyak ikan dan minyak nabati.
Penggunaan : Untuk membantu
pembentukan gigi dan tulang dan pembekuan darah.
Dosis
RDA : 400 UI.
2.2.12.
Vitamin
E
Vitamin E diasosiasikan
dengan kesuburan dan awet muda. Sebagai antioksidan intraselular yang kuat, vitamin
E melindungi limfosit dan monosit dari gangguan radikal bebas pada DNA, karena
itu vitamin ini bermanfaat dalam memperlambat proses penuaan. Juga dikenal
sebagai anti oksidan dengan efek protektif terhadap penyakit jantung dan
perawatan kulit. Sebenarnya peranan vitamin E jauh lebih penting lagi, karena terlibat
dalam total sistem imun, sehingga defisiensi vitamin E dapat menurunkan
kemampuan daya tahan tubuh secara menyeluruh. Vitamin E meningkatkan reaksi
hiper‐sensitivitas
lambat dari sistem imun, suatu respons imunologis untuk melawan kanker, parasit
(cacing), dan infeksi kronis. Selain itu, sebagai anti oksidan vitamin E
memberikan efek perlindungan terhadap vitamin A dari oksidasi di dalam saluran
pencernaan. Dari penelitian para ahli terungkap bahwa untuk mencegah kanker,
vitamin E alami sebagai senyawa d‐alfa
tokoferol suks inat adalah yang terbaik dari pada bentuk vitamin E lainnya.
Penggunaan:
Untuk mempertahankan kesehatan umum, kulit, dan rambut.
Dosis RDA : 30
IU. Untuk terapi digunakan dosis 400 IU per hari. Untuk mendapatkan efek yang
lebih baik, konsumsilah makanan berlemak yang membantu meningkatkan penyerapan
vitamin E oleh tubuh.
Perhatian : Untuk mencegah terjadinya efek
antagonis jika Anda mengkonsumsi obat antikoagulan, konsultasilah lebih dahulu
dengan dokter Anda sebelum mengkonsumsi vitamin E.
2.2.13.
Vitamin
K
Vitamin K membantu
terbentuknya senyawa‐senyawa
pembeku darah yang disebut sebagai protrombin untuk menjadi trombin. Fungsi
lain dari vitamin K adalah membantu mengaktifkan osteokalsin, protein pembangun
tulang, untuk menjaga tulang dari kerapuhan (osteoporosis) yang terjadi pada
usia tua. Namun, penggunaan vitamin K sebagai suplemen hanya digunakan dengan pengawasan
dokter. Tubuh cukup mempunyai persediaan vitamin K, misalnya vitamin K1 atau phylloquinone
dari makanan (misalnya Alfalfa), dan vitamin K2 atau menaquinone yang
diproduksi oleh bakteri usus. Ada pula vitamin K3 atau menadione, vitamin K
sintetis.
Sumber dari makanan:
Kuning telur, minyak sayur, minyak hati ikan, sayuran berdaun hijau, brokoli, lettuce,
teh hijau, asparagus, havermut, gandum, hati, bayam, kubis, kembang kol,
dan kacang polong hijau segar.
2.3.
Struktur
Vitamin
2.3.1.
Vitamin
A
Rabun senja
(nightblindness) Adalah gangguan akibat defisiensi nutrisi yang pertama
dikenal, dan pada buku pengobatan Mesir Kuno (Papyrus Ebers ‐ 1300SM)
disebutkan obatnya adalah ekstrak hati yang telah dimasak. PengobatanYunani Kuno,
yang menjadi cikal bakal pengobatan modern pun mengikuti cara pengobatan Mesir
tersebut. Namun, baru tahun 19 13 diketahui bahwa bahan aktif penyembuh yang
dikandung ekstrak hati tersebut adalah senyawa retinol, yang selanjutnya lebih
dikenal sebagai vitamin A.
Penggunaan nama retinol langsung
menghubungkan efeknya dengan sasaran kerja di retina mata. Pada retina mata
memang terdapat empat senyawa metabolis tubuh yang membutuhkan vitamin A agar
dapat berfungsi dengan baik.
2.3.2.
Vitamin
B1
Aneurin =
Vitamin B1 yang defisiensinya dikaitkan dengan penyakit beri‐beri, ditemukan
pada kulit beras oleh Eijkman pada tahun 1897 pada waktu ia bertugas sebagai
dokter militer di Jawa (Indonesia).
2.3.3.
Vitamin B2
Vitamin B2, yang
terlibat dalam proses metabolisme tubuh dan fungsi saraf, ditemukan oleh Kuhn
dan kawankawannya pada tahun 1933. Untuk struktur B2 adalah
2.3.4.
Vitamin B3
Niasin
berhubungan dengan kinerja saraf, ditemukan oleh C.A. Elvehjem dan rekan‐rekannya pada
tahun 1937.
2.3.5.
Vitamin
B5
Asam pantotenat
berperan dalam sistem imun, ditemukan oleh Roger William pada tahun 1933.
2.3.6.
Vitamin B6
Vitamin B6,
ditemukan P. Gyorgy pada tahun 1938, berperan dalam pembentukan protein tubuh,
sel‐sel
darah merah, prostaglandin, dan senyawa struktural yang berfungsi sebagai transmiter
kimia pada sistem saraf.
2.3.7.
Vitamin
B8
Biotin yang
berperan dalam produksi antibodi, disebut juga sebagai vitamin H, ditemukan
oleh M.A. Boas pada tahun 1927.
2.3.8.
Vitamin
B9
Asam folat yang
berperan dalam banyak sistem enzim penting, digunakan secara klinis pada tahun
1945 oleh T.D. Spies untuk mengatasi anemia karena kehamilan.
2.3.9.
Vitamin B12
Vitamin B12
adalah vitamin yang banyak berhubungan dengan darah dan sistem susunan saraf
pusat, ditemukan oleh dua peneliti yang bekerja secara terpisah pada tahun1948,
yaitu E.L Smith di Inggris dan L.F. Parker di Amerika Serikat.
2.3.10.
Vitamin
D
Pada tahun 1918,
E. Mellanby menunjukkan hubungan antara rakhitis (rickets) atau penyakit
Inggris dengan cod‐liver
oil. H. Steenbock dan A.F. Hess pada tahun 1924 menemukan zat anti rakhitis itu
adalah vitamin D, vitamin yang dihubungkan dengan kesehatan tulang.
2.3.11.
Vitamin
E
Tahun 1923,
Herbert Evant dan Katherine Bishop di California, Amerika, menemukan faktor
nutrisi (dietary factor) reproduksi pada tikus percobaan, yang kemudian
pada tahun 1924 diberi nama oleh E.V. Shute sebagai vitamin E.
2.3.12.
Vitamin
K
Vitamin K
ditemukan pada tahun 1935 oleh Dam, dihubungkan dengan proses pembekuan darah
untuk menghentikan pendarahan pada waktu terjadi luka.
2.4.
Cara
Kerja Vitamin Dalam Tubuh
Vitamin A di dalam
tubuh yang menjadi pelindung bagi jaringan epitelial tersebut kan dirusak oleh enzim jaringan itu sendiri
apabila terpengaruh oleh senyawa karsinogenik, atau terkena pemaparan sinar
matahari yang berlebihan, sehingga organ tersebut menjadi rentan terhadap
kanker. Suplementasi vitamin A dalam dosis tinggi dapat membantu mencegah
kerusakan dan mengembalikan fungsi lapisan pelindung jaringan tersebut dalam
mencegah kanker. Namun, suplementasi Vitamin A dalam dosis tinggi tidak boleh
digunakan dalam waktu panjang (lebih dari satu atau dua bulan), karena vitamin
A yang larut dalam lemak akan disimpan
di dalam jaringan tubuh. Bila terjadi penumpukan vitamin A dalam jumlah besar,
maka vitamin A justru akan menjadi racun bagi tubuh, dengan munculnya gejala‐gejala berupa
nyeri kepala, mual, pening, kulitkering, dan nyeri sendi.
Dalam proses
pencernaan, asam pantotenat berperan sebagai koenzim A yang terlibat dalam
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan khususnya produksi energi.
Berperan pula dalam produksi hormon adrenalin dan sel‐sel darah merah.
Karena penting untuk berfungsinya adrenal yang optimum, asam pantotenat dianggap
sebagai vitamin "anti stress". Asam pantotenat sering digunakan untuk
mendorong berfungsinya adrenalin menjadi lebih efektif. Juga sebagai sumber
dari pantein, bentuk paling aktif dari asam pantotenat, yang mampu menurunkan
tingkat kolesterol dan trigliserida darah.
Selain itu, vitamin C
berguna untuk pembentukan kolagen interseluler, membantu proses penyembuhan
luka, menjaga kesehatan gusi, mencegah terjadinya memar, dan meningkatkan daya
tahan tubuh melawan infeksi dan stres. Vitamin C sering digunakan untuk
melindungi sel darah putih dari enzim yang dilepaskan saat mencerna bakteri
yang telah ditelannya.
2.5.
Analisa
Pengujian Vitamin
Ø Analisis vitamin A
.1
Analisis kualitatif
Dalam uji kulaitatif sampel dimasukkan
ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan tetes demi tetes kloroform hingga
larut. Kemudian ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrid (untuk menghilangkan
air) dan 1 mL larutan SbCl3 (kondisi fresh). Apabila dianalisis menggunakan
spektrometri panjang gelombang maksimum 325 sampai 328 nm
.2
Analisis kuantitatif
.2.1
Metode spektrofotometri
Spektrum
absorbsi ultraviolet vitamin A dan vitamin A secara asetat mempunyai absorbansi
maksimal pada panjang gelombang antara 325 sampai 328 nm dalam berbagai
pelarut. Larutan vitamin a dalam isopropanol absorbansinya diukur pada λmaks
dan pada dua titik, yakni satu
disebelah kanan λmaks dan
satunya lagi pada sebelah kiri λmaks. Absorbansi pada λmaks
dikoreksi terhadap senyawa penggangu dengan menggunakan formula koreksi karena
senyawa-senyawa ini akan ikut menyerap pada daerah UV. Beberapa penggangu,
terutama pada minyak ikan adalah vitamin A2, kitol, anhidro vitamin
A, dan asma polien. Pada vitamin A sintetik senyawa penganggu adalah
senyawa-senyawa antar ( intermediet). Dengan demikian senyawa penganggu ada
vitamin A sintetik dengan minyak ikan yang berbeda.
Prosedur
penetapan vitamin A secara spektrofotometri:
Penetapan
dilakukan secepat mugkin, terlindung dari cahaya, dan terlindung dari senyawa
oksidator. Sebelum dilakukan penetapan kadar, skala spektrofotometer diperiksa
terlebih dahulu. Sebagai pedoman dapat digunakan garis raksa pada 313,16 nm dan
334,5 nm serta garis hidrogen pada 379,7 nm dan 486,1 nm. Ketepatan absorbansi
yang telah dikoreksi lebih rendah jika dibandingkan dengan absorbanasi yang
diamati langsung dan digunakan dalma perhitungan. Karena itu pengukuran
absorbansi membutuhkan perhatian khusus dan sekurang-kurangnya harus dilakukan
dua kali penetapan.
a.
Akseroftol dalam bentuk
ester
Zat
yang tidak larut dalam sikloheksan dimurnikan dengan cara penyaringan atau cara
lain yang tidak menggunakan cara penyabunan. Jika cara pemurnian tersebut tidak
dilakukan, maka penetapan dilakukan menurut cara yang tertera dalam akseforol
lain.
Cara penetapan
akseroftol murni adalah sebagai berikut:
Sejumlah
sampel atau sampel yang sudah dimurnikan ditimbang secara saksama lalu
dilarutkan dalam sikloheksan secukupnya hingga diperoleh larutan yang mengandung
antara 9 SI sampai 15 SI tiap mL dan ditetapkan panjang gelombang maksimalnya.
Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang yang tertera dalam daftar
berikut dan dihitung sebagai absorbansi relatif terhadap absorbansi pada λ 328
nm.
Panjang gelombang
|
Absorbansi relatif
|
300 nm
|
0,550
|
316nm
|
0,907
|
328nm
|
1,000
|
340nm
|
0,811
|
360nm
|
0,299
|
Jika panjang gelombang
absorbansi maksimal terletak antara 326 nm dan 329 nm, tetapai absorbansi
relatif yang terbaca lebih besar dari 0,002 dari harga yang tertera dalam
daftar, maka dihitung absorbansi pada 328 nm yang dikoreksi dengan rumus:
A328
nm (kor) = 3,52( 2A 328 nm – A316 nm – A340
nm)
·
Jika harga absorbansi
yang telah dikoreksi, [A328 nm (kor)] terletak dalam batas ± 3 % dan
harga absorbansi yang belum dikoreksi maka perhitungan dilakukan dengan
menggunakan harga absorbansi yang belum dikoreksi.
·
Jika harga absorbansi
yang telah dikoreksi terletak antara 85% sampai 97% dari harga yang belum
dikoreksi, maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan harga absorbansi yang
belum dikoreksi.
·
Jika harga absorbansi
yang telah dikoreksi terletak lebih kecil dari 85% dan lebih besar daari 103%
dari harga yang belum dikoreksi atu jika panjang gelombang absorbansi maksimal
tidak terletak antara 326 nm sampai 329 nm, maka penetapan kadar dilakukan
menurut cara yang tertera pada akseroftol lain.
b.
Akseroftol lain
Cara
penentuan afseroftol lain: sejumlah zat yang ditimbang secara saksama
(mengandung tidak kurang dari 500 SI akseroftol dan tidak lebih dari 1 gram
lemak), dicampur dengan 30 ml etanol mutlak dan m mL kalium hidroksida 50 %.
Absorbansi larutan diukur pada λ 300 nm,
310 nm, 325 nm dan 334 nm. Selanjutnya dil;akukan penentuan panjang gelombang
maksimal. Perhitungan potensi dilakukan sebagai berikut:
·
Jika panjang gelombang
maksimal terletak antar 323 nm dan 327 nm dan perbandingan absorbansi pada 300
nm terhadap absorbansi pada 327 nm tidak lebih dari 0,73, maka absorbanasi yang
telah dikoreksi [A325 nm(kor)] dihitung dengan rumus:
A325
nm (kor) = 6, 815 A325 nm - 2,555 A310 nm – 4,26 A334
nm
Potensi
dalam SI tiap zat yang diperiksa dihitung dengan rumus:
A325
nm (kor) x 18.000
·
Jika absorbansi yang
telah dikoreksi terletak dalam batas ± 3 % dari harga absorbansi yang belum
dikoreksi, perhitungan dilakukan dengan menggunakan harga absorbansi yang belum
dikoreksi.
·
Jika panjang gelombang
absorbansi maksimal tidak terletak antara 325 nm dan 327 nm atau jika
perbandinganabsorbansi pada 300 nm terhadap absorbansi pada 327 nm lebih dari
0,73, maka yang tidak tersabunkan dari zat yang diperiksa harus dimurnukan
dengan cara kromatorafi.
2.2 Metode Kolorimetri
a. Metode
Carr-price
Metode ini
berdasarkan atas reaksi akseroftol dengan antimon triklorida anhidrat dalam
kloroform yang menghasilkan warna biru. Reaksi ini terjadi antar antimon
triklorid dengan rantai tidak jenuh dari akseroftol. Karoten, asam poliena dan
beberapa senyawa dalam minyak ikan mengahasilkan warna biru juga. Warna yang
terjadi intensitasnya cepat maksimun tetapi juga cepat pucat.
b. Pengubahan
akseroftol menjadi anhidroakseroftol
Akseroftol mudah
diubah menjadi anhidroakseroftol dengan
bantuan sejumlah kecil asam mineral atau asam organik kuat. Pada metode
Budowski dan bondi, akseroftol diubah menjadi anhidroakseroftol dalam pelarut
benzen dengan katalisator asam toluen –p-sulfonat
pada temperatur kamar. Kenaikan absorbansi pada 399nm merupakan hasil dehidrasi
yang berbanding langsung dengan jumlah akseroftol yang terkandung.pengukuran
absorbansi pada 358 nm, 377 nm, dan 399 nm
dalam benzen merupakan cara yang baik untuk mengetahui kemurnian akseroftol
yakni dengan melihat bahwa A 399 nm/ A377 nm sebesar
0,868 dan A 358 nm / A 377 nm sebesar 0,692.
2.3
Metode Kromatografi
Aktivis
isomer vitamin A cukup berbeda sehingga untuk pemisahannya dikembangkan dengan
kolom mikrobore. Sampel ( 1,0- 10,0 gram) dihomogenkan. Sebanayk 30 mL air
ditambahkan ke dalam sampel (jika sampelnya padat). Saponifikasi dilakukan
dengan mencampur 40 mL sampel yang telah dihomogenkan dengan 12 mL larutan KOH
60%; 80 mL etanol mutlak; 0,5 mL terbutilhidroksi toluen- etanolik 1%; dan 0,5
gram asam askorbat untuk menghindari
terjadinya oksidasi. Sampel diaduk pada suhu kamar selama 16 jam. Setelah
selesai saponifikasi, solut diencerkan samapi 250 mL dengan air etanol untuk
memperoleh suatu rasio etanol:air(1:1 v/v). Sebanyak 20 mL aliquot ditambahkan
ke dalam cartidge Kiselguhr dan setelah 20 menit diekstraksi dengan 50 mL
petroleumeter ringan. Eluat selanjutnya diuapkan dan dilarutkan kembali dengan
2-50 mL isooktana (tergantung pada konsentrasi Vitamin A dalam sampel mula-mula).isomer gometri retinol
(vitamin A)dipisahkan dengan kolom pengaman ( 7 x 2 mm i.d) dan kolom analisis
(100x 2mm i.d) yang keduanya berisi silika ggel dengan ukuran partikel 3
mikron. Sebagai eluen adalah heksan yang mengandung 1-oktanol dalam konsentrasi
rendah. Karena panjang gelombang absorbsi maksimun isomer-isomer ini berbeda
maka digunakan detektor photodiode array(PAD). Metode ini telah sukses
memisahkan 7 isomer vitamin A yakni: 11- cis; 11,13-di-cis: 13-cis;9,13-di-cis;
9-cis ;7-cis; dan semua trans-retinol dengan waktu retensi relatif terhadap
trans-retinol masing-masing sebesar 0,510; 0,568; 0,672; 0,740; 0,877;0,924;
dan 1,000.
Ø Analisis Vitamin B
Vitamin B komplek merupakan thiamin, riboflafin, pereduksi
(vitamin B6), asam pantofenat, broflasin serta vitamin B12. Struktur
dari vitamin B kompleks adalah sebagai berikut:
Vitamin B2 Vitamin
B1 Vitamin B5
Vitamin
B6
.1
Analisis Vitamin B1
Dalam
makanan, vitamin B1 (Tiamin HCl) dapat ditemukan dalam bentuk bebas
atau dalam bentuk kompleks dengan protein atau kompleks protein-fosfat.
Tiamin
hidroklorid dalam keadaan kering cukup stabil dan pada pemanasan 100oC
selama 1 jam tidak berkurang potensinya. Larutan tiamin hidroklorid dalam air
dan suasana basa dapat disterilisasi pada 110oC, akan tetapi jika pH
larutannya diatas 5,5 maka akan cepat terhidrolisis. Satu gram tiamin
hidroklorida kristal setara dengan 333,000 SI. Tiamin mononitrat padat lebih
stabil daripada tiamin hidroklorida.
.1.1
Uji kuantitatif Vitamin
B1 :
Metode ini dilakukan dengan cara
memasukkan sedikit serbuk (sampel) ke dalam tabung reaksi. Kemudian tambhkan 3
tetes NaOH 30%, 3 tetes K3Fe(CN)6 0,6% dan 1 mL
isobutanol. Kemudian dikocok hingga bercampur rata. Kemudian perhatikan larutan
campuran tersebut di bawah lampu ultraviolet. Apabila hasil campuran tersebut
menjadi berwarna biru maka uji positif pada sampel.
Uji
Kualitatif Vitamin B1 :
1. Metode
Spektrofluorometri
Tiamin
dalam makanan dan dalam sediaan farmasi harus disari lebih dahulu secara
kuantitatif yang biasanya dengan mendidihkannya dalam asam encer kemudian
tiamin dibebaskan dari persenyawaan kompleks dengan enzim fosfatase. Untuk
sampel yang mengandung protein diperlukan enzim proteolitik seperti pepsin.
Tiamin bebas perlu dimurnikan dari senyawa pengganggu dengan mengalirkannya
melalui zeolit (suatu penukar ion anorganik) sehingga tiamin akan tertinggal
dalam zeolit sedangkan senyawa lain seperti reduktor, asam, dan senyawa netral
akan keluar dari kolom. Kemudian tiamin dielusi dari zeolit dengan kalium
klorida yang diasamkan.
Kandungan vitamin B1 dalam susu
dilakukan dengan metode ini. Vitamin B1 dioksida dengan kalium
ferisianida dalam suasana basa membentuk tiokrom, dan diukur fluoreseneinya.
Intensitas fluoresensi sebanding dengan kadar vitamin B1.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis
vitamin B1 dalam susu adalah sebagai berikut:
· Resin
untuk kromatografi, disiapkan dengan menambah 50 gram Bio-Rex dengan 300mL HCl
2 N, diaduk selama 15 menit, disaring, dan diulangi lagi dengan menambahkan 300
mL H2O, diaduk selama 1 menit, disaring, dan diulangi lagi sampai
diperoleh pH H2O antara 4,5–7,0. Akuades (H2O) harus
bebas dari suspensi resin ketika didiamkan selama 15 detik. Jika terbentuk
suspensi resin, pencucian diulang hingga diperoleh H2O sampai
jernih.
· Larutan
natrium asetat 2 N, disiapkan dengan melarutkan 272 gram natrium asetat
trihidrat dalam air secukupnya hingga 1 L.
· Indikator
pH brom kresol hijau dibuat dengan melarutkan 100 mg indikator dalam 2,8 mL
NaOH 0,05 N dengan penghangatan. Larutan indikator diencerkan dengan H2O
sampai 200 mL. Kisaran warna indikator: hijau (4,0) – biru (5,8).
· Indikator
pH bromofenol biru dibuat dengan melarutkan 100 mg indikator dalam 3,0 mL NaOH
0,05 N dengan penghangatan. Larutan indikator diencerkan dengan H2O
sampai 250 mL. Kisaran warna indikator: kuning (3,0) – biru (4,6).
· Larutan
enzim 10% (b/v) dibuat dengan melarutkan 10 gram enzim diastase dalam akuades
dan mengencerkannya sampai 100,0 mL. Larutan ini dibuat baru setiap hari.
· Larutan
kalium klorida netral 25% (b/v), dibuat dengan melarutkan 250 gram KCl dalam
air secukupnya hingga 1 L.
· Larutan
kalium klorida-asam, dibuat dengan menambahkan 8,5 mL HCl pada 1 L larutan
kalium klorida di atas.
· Larutan
kalium ferisianida 1%, dibuat dengan melarutkan 1 gram K3Fe(CN)6
dalam air secukupnya lalu mengencerkannya sampai 100 mL. Larutan ini dibuat
baru tiap hari.
· Pereaksi
pengoksidasi disiapkan dengan mencampur 4,0 mL larutan kalium ferisianida 1%
dengan NaOH 15% secukupnya hingga 100 mL. Pereaksi ini digunakan dalam waktu 4
jam setelah pembuatan.
· Isobutil
alkohol.
· Larutan
stok kinin sulfat, dibuat dengan melarutkan 10 mg kinin sulfat dalam asam
sulfat 0,1 N secukupnya hingga 1 L. Larutan stok ini disimpan dalam labu
berwarna merah atau kuning.
· Larutan
baku kinin sulfat dibuat dengan mengencerkan 5,0 mL larutan stok kinin sulfat di
atas dengan H2SO4 0,1 N sampai 200 mL. Larutan baku ini
disimpan dalam labu berwarna merah atau kuning.
· Alkohol
yang diasamkan dibuat dengan mengencerkan 250 mL alkohol dengan H2O
sampai 1 L. Larutan ini ditambah HCl tetes demi tetes untuk mengatur pH-nya
antara 3,5–4,3.
· Larutan
asam asetat 3%, dibuat dengan mengencerkan 3 mL asam asetat glasial dengan H2O
sampai 100 mL.
Prosedur penetapan kadar vitamin B1
secara spektrofluorometri:
a. Penyiapan
kolom Kromatografi
Kolom
kromatografi disiapkan dengan cara memasukkan glass wool dari atas kolom sampai ujung kolom. Dengan hati-hati,
suspensi resin dimasukkan dalam H2O sampai ketinggian 10 cm. Cairan
dijaga untuk tidak berada di bawah permukaan resin selama proses adsorbsi.
b. Penyiapan
larutan baku Tiamin HCl
i.
Larutan baku stok
(induk)- 100 µg/mL, dibuat dengan menimbang secara seksama 50,0 mg baku tiamin
HCl yang telah dikeringkan dalam desikator (Tiamin HCl bersifat higroskopik,
oleh karena itu berhati-hatilah selama menimbang untuk menghindari penyerapan
lembab) lalu memindahkannya dalam labu takar 500 mL. Tiamin HCl dilarutkan
dalam larutan alkohol 20% yang telah diasamkan dengan HCl untuk mengatur pH
larutan 3,5–4,3 lalu mengencerkannya sampai batas tanda dengan alkohol yang
telah diasamkan. Larutan disimpan dalam botol berwarna kuning atau merah dalam
refigerator (Larutan ini stabil dalam beberapa bulan).
ii.
Larutan antara 10
µg/mL, dibuat dengan mengencerkan 100,0 mL larutan stok (induk) 100 µg/mL
diatas sampai 1 L dengan alkohol 20% yang telah diasamkan dengan HCl untuk
mengatur pH antara 3,5–4,3. Larutan disimpan dalam botol tertutup yang kedap
terhadap cahaya pada suhu 10oC.
iii. Larutan
baku kerja- 1 µg/mL, dibuat dengan mengambil 10,0 mL larutan baku antara lalu
ditambah 50 mL HCl 0,1 N. Larutan selanjutnya didigesti selama 30 menit pada
penangas uap pada suhu 95–100oC atau dalam penangas air mendidih
selama 30 menit dengan sesekali diaduk. Larutan didinginkan dan diencerkan
sampai 100 mL dengan HCl 0,1 N. Larutan
ini dibuat baru setiap kali pengujian.
iv. Larutan
baku kerja untuk sampel-sampel yang mengandung tiamin bebas, dibuat dengan
mengencerkan 20,0 mL larutan kerja (iii) sampai 100 mL dengan HCl 0,1 N.
Larutan ini ditandai sebagai larutan baku
uji dan dilanjutkan secara langsung dengan proses oksidasi.
v.
Larutan baku kerja
untuk sampel-sampel yang mengandung tiamin pirofosfat, dibuat dengan cara:
mengambil 20,0 mL larutan baku kerja lalu dilanjutkan dengan proses hidrolisis
enzim dimulai dengan “larutan diencerkan dengan 65 mL”. Setelah selesai
dilanjutkan dengan pemurnian hingga diperoleh larutan 25,0 mL. Larutan ini
ditandai sebagai larutan baku uji
(mengandung tiamin HCl 5 µg) dan dilanjutkan dengan proses oksidasi.
c. Penyiapan
sampel (ekstraksi)
i.
Untuk sampel-sampel
yang mengandung tiamin bebas (tidak digunakan untuk sampel yang mengandung
tiamin pirofosfat).
·
Untuk sampel kering
atau setengah kering yang mengandung senyawa basa dalam jumlah kecil, penyiapan
sampelnya: ditimbang sejumlah sampel secara seksama yang setara dengan 15 µg
tiamin HCl lalu dimasukkan dalam labu yang berukuran sesuai dan ditambah
sejumlah mL HCl 0,1 N sebanyak 10 kali berat sampel kering dalam gram. Campuran
diaduk hingga sampel terdispersi dalam cairan. Jika terjadi gumpalan, larutan
digojog kuat hingga semua partikel padat bersentuhan dengan cairan. Tepi labu
dicuci dengan HCl 0,1 N. Larutan selanjutnya didigesti selama 30 menit pada
penangas uap pada suhu 95–100oC dengan seringkali diaduk lalu
didinginkan. Jika gumpalan masih terjadi, campuran digojog hingga partikel
terdispersi. Larutan selanjutnya diencerkan dalam labu takar dengan HCl 0,1 N
hingga mengandung ± 0,2 µg/mL. Larutan ini ditandai sebagai larutan sampel uji.
·
Untuk sampel kering
atau setengah kering yang mengandung senyawa basa dalam jumlah cukup tinggi,
penyiapan sampel dilakukan dengan cara: ditimbang sejumlah sampel secara
seksama yang setara dengan 15 µg tiamin HCl, dimasukkan dalam labu yang
berukuran sesuai, ditambah HCl encer dalam sampel hingga pH-nya ± 4, ditambah
sejumlah volume H2O hingga volumenya 10 kali berat sampel kering
dalam gram. Campuran ditambah 1 mL HCl 10 N tiap 100 mL cairan. Jika terjadi
gumpalan, larutan digojog kuat hingga semua partikel padat bersentuhan dengan
cairan. Tepi labu dicuci dengan HCl 0,1 N. Larutan selanjutnya didigesti selama
30 menit pada penangas uap pada suhu 95–100oC dengan seringkali
diaduk lalu didinginkan. Jika gumpalan masih terjadi, campuran digojog hingga
semua partikel terdispersi. Larutan selanjutnya diencerkan dalam labu takar
dengan HCl 0,1 N hingga mengandung ± 0,2
µg/mL. Larutan ini ditandai sebagai larutan
sampel uji.
·
Untuk sampel cair,
penyiapan sampel dilakukan dengan cara: diambil sejumlah tertentu sampel secara
seksama yang setara dengan 15 µg tiamin HCl, dimasukkan dalam labu yang
berukuran sesuai. pH larutan diatur dengan penambahan HCl atau NaOH hingga pH ±
4. Larutan selanjutnya ditambah sejumlah volume H2O hingga volumenya
10 kali berat sampel dalam gram. Larutan ditambah 1 mL HCl 10 N tiap 100 mL
cairan lalu diaduk hingga sampel terdispersi dalam cairan. Jika terjadi
gumpalan, larutan digojog kuat. Tepi labu dicuci dengan HCl 0,1 N. Larutan
selanjutnya didigesti selama 30 menit pada penangas uap pada suhu 95–100oC
dengan seringkali diaduk lalu didinginkan, dan jika gumpalan masih terjadi
campuran digojog. Larutan diencerkan dalam labu takar hingga mengandung ± 0,2
µg/mL. Larutan ini ditandai sebagai
larutan sampel uji.
ii.
Untuk sampel-sampel
yang mengandung tiamin pirofosfat, penyiapan sampelnya dilakukan dengan cara:
ditimbang sejumlah sampel secara seksama yang setara dengan 15 µg tiamin HCl,
dimasukkan ke dalam labu yang berukuran sesuai lalu ditambah sejumlah mL HCl
0,1 N sebanyak 10 kali berat sampel kering dalam gram. Larutan diaduk hingga
sampel terdispersi dalam cairan. Jika terjadi gumpalan, larutan digojog kuat hingga
semua partikel padat bersentuhan dengan cairan. Tepi labu dicuci dengan HCl 0,1
N. Larutan didigesti selama 30 menit pada penangas uap pada suhu 95–100oC
dengan seringkali diaduk lalu didinginkan. Jika gumpalan masih terjadi,
campuran digojog hingga partikel terdipersi. Larutan diencerkan dalam labu
takar dengan HCl 0,1 N hingga mengandung ± 0,2–0,5 µg/mL. Larutan ini ditandai
sebagai larutan sampel uji. Proses
selanjutnya adalah dengan hidrolisis enzim dan dengan pemurnian.
d. Hidrolisis
dengan Enzim
Sejumlah
tertentu aliquot yang mengandung 10–25 µg tiamin diambil dan diencerkan dengan
65 mL HCl 0,1 N. pH masing-masing larutan diatur 4,0-4,5 dengan penambahan
larutan natrium asetat 2 N menggunakan indikator bromkresol hijau. Titik akhir
ditandai dengan perubahan warna biru yang tetap. Larutan selanjutnya ditambah 5
mL larutan enzim, dicampur, diinkubasikan pada suhu 45–50oC selama 3
jam, lalu didinginkan, dan pH-nya diatur ± 3,5 menggunakan indikator bromofenol
biru. Larutan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai 100 mL dan disaring melalui
kertas saring yang tidak menyerap tiamin.
e. Pemurnian
Sejumlah
aliquot larutan sampel yang telah disaring yang mengandung ± 5 µg tiamin
dilewatkan pada kolom kromatografi yang telah dipersiapkan. Kolom kromatografi
dicuci 3 kali masing-masing dengan 5 mL H2O yag hampir mendidih.
Permukaan cairan jangan dibiarkan berada di bawah permukaan resin. Tiamin
dielusi dari resin dengan melewatkan 5 kali masing-masing 4,0–4,5 mL larutan
KCl-asam yang hampir mendidih (>60oC) melalui kolom. Permukaan
cairan jangan dibiarkan berada di bawah permukaan resin. Eluat yang diperoleh
dari hasil hidrolisis dan pemurnian larutan baku dikumpulkan dalam labu takar
25 mL, didinginkan, dan diencerkan dengan larutan KCl-asam sampai batas volume.
Larutan ini ditandai sebagai larutan
sampel uji.
f. Oksidasi
Tiamin menjadi Tiokrom
i.
Untuk larutan baku uji,
oksidasi tiamin menjadi tiokrom dilakukan dengan cara:
·
Pada masing-masing 2
tabung 40 ml, ditambah 1,5 gram NaCl dan 5 mL larutan baku uji (larutan dijaga
dari cahaya karena akan merusak tiokrom).
·
Larutan digoyangkan
ringan hingga terbentuk gerakan memutar dalam cairan dan segera ditambah 3 mL
pereaksi pengoksidasi dengan pipet (gunakan pipet yang mampu mengeluarkan 3 mL
pereaksi pengoksidasi dalam waktu 1-2
detik).
·
Pipet dipindahkan dan
tabung sekali lagi digoyangkan supaya bercampur.
·
Dengan segera, larutan
ditambah 13 mL isobutanol lalu ditutup tabungnya.
·
Larutan selanjutnya
digojog dengan kuat selama 2 menit.
·
Pada salah satu tabung,
dilakukan juga baku blanko dengan mengganti 3 mL pereaksi pengoksidasi dengan 3
mL larutan NaOH 15%. Tabung disentrifugasi dengan kecepatan rendah sampai
diperoleh supernatan yang jernih dari masing-masing tabung.
·
Sebanyak 10,0 mL
ekstrak isobutanol (lapisan atas) dipipet untuk selanjutnya diukur
fluoresensinya.
ii.
Untuk larutan sampel
uji
·
Pada masing-masing 2
tabung 40 mL, ditambah 1,5 gram NaCl dan 5 mL larutan sampel uji (larutan
dijaga dari cahaya karena cahaya akan merusak tiokrom).
·
Tabung digoyangkan
ringan hingga terbentuk gerakan memutar dalam cairan dan dengan segera, larutan
ditambah 3 mL pereaksi pengoksidasi dengan pipet (digunakan pipet yang mampu
mengeluarkan 3 mL pereaksi pengoksidasi dalam waktu 1-2 detik).
·
Pipet dipindahkan dan
tabung digoyangkan sekali lagi supaya bercampur.
·
Dengan segera, larutan
ditambah 13 mL isobutanol lalu ditutup tabungnya dan digojog kuat selama 2
menit.
·
Pada salah satu tabung,
dilakukan juga sampel blanko dengan mengganti 3 mL pereaksi pengoksidasi dengan
3 mL larutan NaOH 15%.
·
Tabung disentrifugasi
dengan kecepatan rendah sampai diperoleh supernatan yang jernih dari
masing-masing tabung.
·
Sebanyak 10,0 mL
ekstrak isobutanol (lapisan atas) dipipet untuk selanjutnya diukur
fluoresensinya.
g. Pengukuran
fluoresensi tiokrom
Fluoresensi
tiokrom diukur pada λ eksitasi 365 nm dan λ emisi 435 nm. Reprodusibilitas
fluorometer diatur dengan menggunakan larutan baku kinin sulfat.
· Fluoresensi
ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan
sampel uji yang ditambah pereaksi pengoksidasi (I) diukur, selanjutnya
diukur juga fluoresensi ekstrak
isobutanol yang berasal dari larutan
sampel uji yang ditambah 3 mL larutan NaOH 15 % (b).
· Fluoresensi
ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan
baku uji yang ditambah pereaksi pengoksidasi (S) diukur, selanjutnya diukur
juga fluoresensi ekstrak isobutanol yang berasal dari larutan baku uji yang ditambah 3 mL larutan NaOH 15 %
h. Perhitungan
µg Tiamin HCl
tiap 5mL larutan uji =
2. Metode
Kolorimetri
Dasar metode ini adalah reaksi antara tiamin dengan
6-aminotimol yang telah didiazotasi. Hasil peruraian tiamin tidak menghasilkan
warna dengan pereaksi ini. Dekstrosa, laktosa, maltosa, sukrosa, tepung,
kasein, gelatin, pepton, urea, gliserofosfat dan logam berat, dengan kadar 100
kali lebih besar dari kadar tiamin tetap tidak mengganggu. Riboflavin, asam
nikotinat, nikotinamid, piridoksin, asam pantotenat, guanin, adenin, triptopan,
tirosin dan histidin yang terdapat dengan kadar 20 kali lebih besar daripada
kadar tiamin juga tidak mengganggu.
Pereaksi
6-aminotimol dibuat dengan melarutkan 50 mg 6-aminotimol dalam 50 mL asam
klorida 0,35% dan mengencerkannya dengan air secukupnya hingga 200 mL.
Prosedur
penetapan kadar tiamin murni dengan pereaksi 6-aminotimol:
Sejumlah 5,0 pereaksi 6-aminotimol
didinginkan dengan es, ditambah 2,0 mL natrium nitrit 0,1%, lalu dicampur dan
didiamkan selama 1 menit. Larutan selanjutnya ditambah 5,0 mL natrium
hidroksida 20% dan diencerkan dengan air secukupnya sampai 20,9 mL. Sejumlah
1,0 pereaksi ini ditambah 1,0 larutan sampel. Setelah 5 menit larutan
diencerkan dengan air untuk mendapatkan absorbansi yang sesuai. Digunakan
larutan blanko.
Jika
larutan sampel telah berwarna atau keruh, dilakukan penetapan seperti diatas
kemudian warna yang terjadi disari dengan campuran pelarut yang terdiri atas 90
mL toluen yang telah didestilasi ulang (redestilasi) dan 10 mL n-butanol.
Lapisan pelarut organik dipisahkan dan ditambah ± 1 gram natrium sulfat
anhidrat untuk mengeringkan pelarut lalu diukur absorbansinya.
3. Metode
Alkalimetri
Adanya
hidroklorida pada tiamin hidroklorida dapat dititrasi dengan natrium hidroksida
0,1 N menggunakan indikator brom timol biru.
Prosedur
penetapan kadar tiamin hidroklorida dengan metode alkalimetri:
Lebih
kurang 500 mg tiamin hidroklorida yang ditimbang seksama, dilarutkan dalam 75
mL air bebas CO2 lalu dititrasi dengan NaOH 0,1 N menggunakan
indikator brom timol biru. Tiap mL NaOH 0,1 N setara dengan 33,70 gram tiamin
hidroklorida.
Berat ekivalen (BE)
tiamin hidroklorida pada penetapan secara alkalimetri adalah sama dengan berat
molekulnya (BM). Hali ini disebabkan karena tiap 1 mol tiamin hidroklorida
bereaksi dengan 1 mol NaOH.
Kadar Tiamin HCl =
4. Metode
Titrasi Bebas Air (TBA)
Tiamin
hidroklorida dalam asam asetat glasial dapat dititrasi dengan asam perklorat
dengan sebelumnya ditambah raksa (II) asetat berlebihan. Kedua atom nitrogen
dalam tiamin hidroklorida tertitrasi sehingga berat ekivalennya setengah dari
berat molekulnya. Sebagai indikator dapat digunakan p-naftol benzen, merah kuinaldin, atau dengan kristal violet.
Prosedur
penetapan kadar tiamin dengan metode TBA:
Lebih kurang 250 mg tiamin hidroklorida
yang ditimbang seksama ditambah 10 mL asam asetat glasial, 10 mL raksa (II) asetat 5% dalam asam asetat
glasial, dan ditambah 20 mL dioksan. Selanjutnya larutan dititrasi dengan asam
perklorat 0,1 N menggunakan indikator 3 tetes kristal violet sampai warna biru.
Tiap mL asam perklorat 0,1 N setara dengan 16,86 mg tiamin hidroklorida.
Berat ekivalen (BE)
tiamin hidroklorida pada penetapan secara titrasi bebas air adalah setengah
dari berat molekulnya (BM/2). Hali ini disebabkan karena tiap 1 mol tiamin
hidroklorida bereaksi dengan 2 mol HClO4.
Kadar
Tiamin HCl =
5. Metode
Argentometri
Adanya
klorida dalam tiamin hidroklorida dapat ditetapkan secara argentometri dengan
menggunakan metode Volhard. Pada penetapan dengan metode Volhard suasananya
harus asam sebab jika suasananya basa maka akan terjadi reaksi antara perak
nitrat dengan basa membentuk Ag(OH) yang pada tahap selanjutnya akan membentuk
endapan putih Ag2O, akibatnya perak nitrat tidak hanya bereaksi
dengan sampel tetapi juga bereaksi dengan basa.
Prosedur
penetapan kadar vitamin B1 secara argentometri:
Lebih
kurang 100 mg tiamin hidroklorida yang ditimbang secara seksama dilarutkan
dalam 20 mL air. Larutan diasamkan dengan asam nitrat encer dan ditambah 10 mL
perak nitrat 0,1 N. Endapan yang terjadi disaring dan dicuci dengan air sampai
tidak mengandung klorida. Filtrat
selanjutnya dititrasi dengan larutan baku ammonium tiosianat 0,1 N menggunakan
indikator besi (III) amonium sulfat. Tiap mL perak nitra 0,1 N setara dengan
16,86 mg tiamin hidorklorida.
Berat
ekivalen (BE) tiamin hidroklorida pada penetapan secara argentometri adalah
setengah dari berat molekulnya (BM/2). Hal
ini disebabkan karena tiap 1 mol tiamin hidroklorida (yang mengandung 2
Cl-) bereaksi dengan 2 mol AgNO3.
6. Metode
Gravimetri
Tiamin
dalam tablet vitamin B1 dan dalam injeksi dapat ditetapkan secara gravimetri
dengan cara mengendapkan larutan tiamin menggunakn asam silikowolframat.
Prosedur
penetapan kadar tiamin dengan metode gravimetri:
Sejumlah tertentu tablet yang telah
ditimbang secara seksama dan setara dengan lebih kurang 50 mg tiamin
hidroksida, diencerkan dengan air secukupnya hingga 50 mL lalu ditambah 2 mL
asam klorida pekat dan dipanaskan hingga mendidih. Pada larutan yang telah
mendidih ini selanjutnya ditambah dengan cepat tetes demi tetes 4 mL asam
silikowolframat yang baru disaring lalu dididihkan selama 4 menit. Larutan
disaring melalui penyaring kaca masir lalu dicuci dengan 50 mL campuran
mendidih yang terdiri atas 1 bagian volume asam klorida pekat dan 19 bagian air
yang mengandung asam silikowolframat 0,2% (b/v), kemudian dicuci 2 kali tiap
kali dengan 5 mL aseton. Sisa dikeringkan pada suhu 105oC selama
satu jam lalu didinginkan selama 10 menit dan dibiarkan dalam eksikator di atas
larutan asam sulfat 38% dan ditimbang. Tiap gram sisa setara dengan 192,9 mg
tiamin hidroklorida.
.2
Analisis
Vitamin B2
Ø Analisis kualitatif Ribofavin (Vitamin B2)
Vitamin B2 disebut juga riboflavin karena strukturnya
mirip dengan gula ribose dan juga karena ada hubungan dengan kelompok flavin.
Riboflavin larut dalam air dan member warna fluorosen kuning-kehijauan.
Riboflavin sangat mudah rusak oleh cahaya dan sinar ultraviolet, akan tetapi
tahan terhadap panas, oksidator, dan asam.
Kelarutan Riboflavin dalam air bervariasi dari 1 bagian riboflavin
dalam 3000 bagian air sampai 1 bagian riboflavin dalam 15.000 bagian air.
Variasi ini disebabkan oleh variasi bentuk kristalnya.
Berdasarkan pada sifat-sifat di atas pada waktu penetapan kadar,
riboflavin harus terhindar cahaya. Penyinaran dengan sinar ultraviolet atau
cahaya tampak terhadap larutan riboflavin dalam basa menghasilkan lumiflavin
sedangkan larutan riboflavin dalam suasana netral atau asam menghasilkan
lumikrom yang berfluorsensi biru.
Ø Analisis kuantitatif Ribofavin (Vitamin B2)
A. Metode spektrofluorometri
Cara penetapan langsung dapat digunakan terhadap campuran yang
bebas dari senyawa berwarna yang mengganggu atau senyawa pengganggu lain yang
mengandung riboflavin lebih besar dari 0,1 %.
Cara penetapan langsung dapat digunakan terhadap campuran yang
tidak mengandung senyawa berfluorosensi atau senyawa berwarna yang larut dalam
air atau dalam asam encer. Pengukuran harus dilakukan secepat mungkin karena
riboflavin terurai oleh sinar ultraviolet.
Larutan sampel :
Sejumlah serbuk
yang ditimbang seksama dan setara dengan lebih kurang 2,5 mg riboflavin
dimasukkan ke dalam labu 250 mL lalu ditambah 1 mL asam asetat 32,5% dan air
secukupnya hingga 200 mL. Lalu dipanaskan di atas penangas air sambil sering
dikocok hingga riboflavin larut lalu didinginkan hingga suhu 20ºC. Larutan
ditambah air secukupnya hingga 250 mL dan dicampur baik-baik.
Larutan riboflavin
baku persediaan I, dibuat dengan melarutkan 50 mg riboflavin yang telah
dikeringkan pada suhu 105 ºC selama 2 jam dalam asetat 0,02 N secukupnya hingga
500 mL.
Larutan riboflavin
baku persediaan II, dibuat dengan cara menambah 10,0 mL larutan riboflavin baku
persediaan I dengan asam asetat 0,02 N secukupnya hingga 100 mL.
Larutan riboflavin
baku, dibuat dengan mengencerkan 10,0 mL larutan riboflavin baku persediaan II
dengan air secukupnya hingga 100 mL.
Kadar dalam mg riboflavin dihitung dengan menggunakan rumus:
2,5 x
B. Metode spektrometri
Larutan riboflavin
dalam pH 4,0 menunjukkan absorbs maksimum (λ maks) pada 444 nm. Cara ini digunakan untuk menetapkan kemurnian
riboflavin atau untuk penetapan riboflavin dilakukan dengan cara terlindung
dari cahaya.
Prosedur penetapan kadar riboflavin tunggal secara
spektrofotometri:
Sekitar 100 mg riboflavin yang ditimbang seksama dilarutkan dengan
pemanasan dalam campuran 2 mL asam asetat glacial dan 150 mL air. Larutan
selanjutnya diencerkan dengan air, didinginkan, ditambah air secukupnya hingga
1000 mL. pada 10,0 mL larutan ditambah 3,5 mL natrium asetat 0,1 M kemudian
ditambah air secukupnya hingga 100 mL. kadarnya dihitung dengan menggunakan
riboflavin baku sebagai pembanding.
2.4
Analisis Vitamin B6
Ø Metode
spektrofotometri
Pada
daerah ultraviolet, piridoksin, piridokamin dan piridoksal menunjukkan daerah
penyerapan yang karakteristik walaupun tidak ada maksimum untukketiganya. Kadar
vitamin B6 jumlah dalam larutan buffer ph 6,75 dapat diterapkan pada
panjang gelombag 325 nm. Pada panjang gelombang ini, piridoksin dan
piridoksamin menunjukkan absorbansi maksimum.
Prosedur
penetapan dalam tablet tunggal secara spektrofotometri:
Sebanyak 20
tablet ditimbang dan diserbuk. Pada sejumlah serbuk yang ditimbang seksama yang
setara dengan lebih kurang 25 mg piridoksin hidroklorida ditambah 50 mL asam
klorida 0,1 N sambil diaduk. Larutan diencerkan dengan asam klorida secukupnya
hingga 100 mL. larutan diukur absorbansinya menggunakan kuvet dengan ketebalan
1 cm pada panjang gelombang maksimum (291 nm)
Ø Metode
kolorimetri
Metode
ini didasarkan pada reaksi fenol dengan 2,6-dikloro-p-benzokuin-4-kloromina dengan menghasilkan warna biru yang dapat
disari dengan pelarut organik. Reaksi ini merupakan reaksi umum untuk senyawa
fenol berkedudukan para terhadap gugus hidroksil fenol tidak tersubsitusi.
Ø Metode
titrasi bebas air
Lebih
kurang 300 mg piridoksin hidroklorida yang ditimbang seksama, dilarutkan dalam
40 mL asam asetat glacial lalu dititrasi dengan asam perklorat 0,1 N
menggunakan indicator 3 tetes Kristal violet samapai biru hijau. Tiam mL asam
perklorat 0,1 N setara dengan 20,56 mg piridoksin hidroklorida.
Ø Metode
kromatografi
Kromatofrafi
cair kinerja tinggi (KCKT) dengan detector fluorometri telah digunakan secara
luas untuk analisis kuantitatif vitamin B6 dalam ayam dan bahan
makanan lainnya.
2.5
Analisis Vitamin B12
(sianokobalamin)
Sianokobalamin,
C63H88O14N14Pco, merupakan senyawa
kompleks dengan kordinat kobalt berberat molekul 1355,4. Kristal vitamin B12
cepat menyerab lembab udara. Sianokobalamin bersifat netral dan mengandung
gugus sian. Gugus ini dapat diganti dengan berbagai ion untuk menghasilkan
senyawa baru seperti klorokobalamin dan hidroksokobalamin. Bila sianokobalamin
dihidrolisis dengan asam maka akan menghasilkan 5,6-dimetilbenzimdazol. Metode
penetapan kadar vitamin (sianokobalamin)
Ø Metode
spektrofotometri B12
Sianokobalamin
dalam air menunjukkan absorbansi maksimun (λ maks) pada 278 ± 1nm, 361 nm dan
550 ±2 nm. Metode spektrofotometri tidak spesifik untuk sianokobalamina karena
senyawa bewarna merah dan pseudosiokobalamin menunjukkan spektra absorbansi
yang serupa. Metode yang paling sederhana adalah dengan menetapkan pada 550 nm,
tetapi metode ini hanya dapat digunakan terhadap sianokobalamin yang bebas
senyawa pengganggu. Metode yang lebih peka ialah dengan melakukan penetapan
pada panjang gelombang 361 nm.
Prosedur
penetapan kadar sianokobalamin secara spekrofotometri:
Lebih kurang 2
mg sianokobalamin yang ditimbang saksama, dilarutkan dalam akuades secukupnya
dan diencerkan hingga 50,0 mL. Larutan
diukur absorbansinya dengan kuvet 1 cm pada panjang gelombang 361 nm. Harga E1cm1%
pada 361 nm adalah 207
Ø Metode
kromatografi
Metode
KCKT telah sukses digunakan untuk pemisahan dan analisis kuantitatif vitamin B1,
B2, dan campuran-campurannya dalam bebagai macam bahan makanan.
Berbagai macam isomer vitamin B12 (sianokobalamin) yang ada dalam berbagai macam susu juga telah
dipisahkan dengan menggunakan metode KCKT fase terbalik.
Sianokobalamin
diekstraksi dari sampel dengan mencampur 25 mL susu dengan 2-4 mL HCL 0,1 M pH
4,6. Campuran dipanaskan pada suhu 1200C selama 10 menit dan
selanjtnya disaring. pH filtrat diatur 5,5 dengan natrium hidroksida 0,1 M dan
diencerkan dengan akuades sampai 50mL. Sianokobalamin selanjutnya
dipekatkan pada cartridge oktadesil silan yang telah dikondisikan dengan 2 mL
asetonitril dan dicuci dengan 6 mL akuades. Filtrat selanjutnya dilewatkan
melalui cartridge dan selanjutnya cartridge dicuci dengan 12 mL air.
Sianokobalamain dengan asetonitril: iar(1:1 v/v) dan dipisahkan dengan kolom
oktil silika. Elusi gradien dimulai dengan asetonitril: larutan amonium fosfat
pH 3,0 (5:95) lalu konsentrasi asetonitril ditingkatkan samapi 30% selama 16
menit. Konsentrasi vitamin B12 selanjutnya dengan metode radioassay.
Ø Analisis Vitamin C
.1
Analisis kualitatif
Vitamin C
Langkah
awal yang dilakukan adalah dengan memasukkan sampel ke dalam tabung reaksi
sebanyak 2 mL, kemudian ditambahkan 2 tetes NaOH 10% dan 2 mL larutan FeSO4
5%. Kemudian dicampurkan hingga rata kemudian mengamati perubahan yang terjadi.
Uji positif timbul warna kuning.
.2
Analisis kuantitatif
vitamin C
.2.1
Metode iodimetri
Dasar
dari metode ini adalah sifat mereduksi asam askorbat. Metode iodometri (titrasi
langsung dengan larutan baku 0,1 N) dapat digunakan terhadap asam askorbat
murni atau larutannya.
Prosedur
penetapan kadar vitamin C secara iodometri:
Sekitar 400 mg
asam askorbat yang ditimbang seksama dilarutkan dalam campuran yang terdiri
atas 100 mL air bebas oksigen dan 25 mL asam sulfat encer. Larutan dititrasi
dengan iodium 0,1 N menggunakan indikator kanji sampai terbentuk warna biru.
.2.2
Metode
2,6-diklorofenolindofenol (DCIP)
Metode
2,6-diklorofenolindofenol (DCIP) ini berdasarkan atas sifat mereduksi asam
askorbat terhadap zat warna 2,6-diklorofenolindofenol membentuk larutan yang
tidak berwarna. Pada titik akhir titrasi, kelebihab zat warna yang tidak
tereduksi akan berwarna merah muda dalam larutan asam.
Metode
ini tidak spesifik karena beberapa senyawa mereduksi lainnya dapat mengganggu
penetapan. Senyawa pengganggu tersebut adalah senyawa sulfhidril, tiosulfat,
riboflavin dll.
Cara
untuk menghilangkan pengaruh senyawa pengganggu adalah:
1. Asam
askorbat diubah menjadi asam dehidroaskorbat
2. Jumlah
senyawa mereduksi yang masih ada ditetapkan
Bahan
yang digunakan untuk metode ini adalah:
a. Larutan
pengekstraksi
Larutan asam
metafosfta-asam asetat dibuat dengan melarutkan 15 g asam metafosfat dalam 40
mL asam asetat dan 200 mL aquades dengan penggojogan lalu diencerkan sampai 500
mL.
b. Larutan
baku asam askorbat
Dibuat dengan menimbang
seksama 50 mg asam askorbat baku yang telah disimpan dalam desikator dan
dihindarkan dari pengaruh cahaya lalu memindahkannya ke labu takar 50 mL,
melarutkannya dan mengencerkannya sampai batas tanda dengan larutan asam
metafosfat-asam asetat.
c. Larutan
baku diklorofenol-indofenol (DCIP)
Dibuat dengan
melarutkan 50 mg garam Na 2,6-diklorofenolindofenol (DCIP) yang telah disimpan
dalam desikator dalam 50 mL air yang telah ditambah 42 mg natrium bikarbonat,
lalu digojog kuat.
d. Indikator
pH timol biru 0,04% dibuat dengan menggunakan 100 mg biru timol dengan
10,75 mL NaOH 0,02 N dengan
penghangatan.
Prosedur
penetapan kadar vitamin C dalam minuman menggunakan metode ini:
a. Pembakuan
larutan baku DCIP dengan larutan baku vitamin C
b. Uji
pendahuluan adanya senyawa basa dalam jumlah cukup besar
c. Penyiapan
larutan sampel
d. Penetapan
kadar
e. Perhitungan
Mg asam
askorbat/g,tablet,mL= (X-B) x x
X = volume rata-rata DCIP untuk titrasi sampel
B = volume rata-rata DCIP untuk titrasi blanko
F = kesetaraan mg asam askorbat/mL DCIP
E : jumlah g sampel
V : volume larutan uji awal yang diambil
Y : volume aliquot
.2.3
Metode kolorimetri
4-metoksi-2-nitroanilin
Sebanyak
2 mL pereaksi 4-metoksi-2-nitroanilin ditambah 2 mL natrium nitrit 0,2% diaduk
hingga warna jingga hilang lalu ditambah 75 mL n-butil alcohol dan dicampur.
Larutan ini selanjutnya ditambah 0,5-2mg asam askorbat 0,5% dan dipindahkan ke
dalam corong pemisah. Selanjutnya larutan ditambah 25 mL natrium hidroksida 10%
dan 150 mL dietil eter. Lapisan organic dicuci tiga kali dengan 15 mL natrium
hidroksida 10%. Lapisan air dan cairan hasil cucian dengan air diencerkan
dengan air hingga 200 mL. absorbansi larutan diukur terhadap blangko pada 570
nm.
.2.4
Metode spektrofotometri
Asam
askorbat dalam larutan air netral menunjukkan absorbansi maksimum pada 264 nm.
Panjang gelombang maksimum ini akan bergeser oleh adanya asam mineral. Asam
askorbat dalam asam sulfat 0,01 N memiliki panjang gelombang maksimal 245 nm.
.2.5
Metode
spektrofluorometri
Metode
ini digunakan untuk analisis kuantitatif vitamin C yang linier pada kisaran
konsentrasi asam askorbat 9,0 x 10-8 sampai 3,6 x 10-8.
Suatu hubungan linier diperoleh antara penurunan intensitas fluoroensi MB dan
konsentrasi AA pada kisaran 3,0 x 10-7 sampai 6,0 x 10-6 .
batas deteksi metode ini 2,5 x 10-7 m. metode ini telah sukses
digunakan untuk menetapkan kadar vitamin C dalam tablet suplemen vitamin.
.2.6
Metode kromatografi
Metode
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) telah dikembangkan untuk penentuan asam
askorbat dalam minimum ringan dan jus apel menggunakan tris 2,2-bipiridin
ruthenium II. Sampel disaring dan diencerkan sebelum dilakukan analisis dengan
KCKT dan tidak ada pra-perlakuan lain yang dilakukan. Pemisajhan asam askorbat
menggunakan kolom oktadesil silan (ODS, C18) menggunakan fase gerak larutan
buffer NaH2PO4-K2HPO4 (pH 6,5).
Aliran fase gerak 0,3 mL/menit. Asam askorbat yang terelusi dicampur dengan
(Ru(bpy)32+ 0,5 mM dan diosidasi pada 1,5 V (dengan
elektroda Ag/AgCl).
Dari
sini dapat diketahui bahwa metode ini relative sederhana dengan batas deteksi
asam askorbat 10pmol dan kurva kalibrasinya linier pada kisaran 0,06 – 80 nmol.
Karena metode ini sensitive dan selektif maka metode ini diusulkan untuk
digunakan dalam analisis kuantitatif asam askorbat dalam minuman ringan dan jus
apel.
3.
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
diambil dari paper ini adalah sebagai berikut:
a. Vitamin
adalah bahan esensial yang diperlukan untuk membantu kelancaran penyerapan zat
gizi dan proses metabolisme tubuh.
b. Jenis-jenis
vitamin ada vitamin A, B1, B2, B3, B5, B6, B8, B9, B12, C, D, E, K.
c. Analisa
kualitatif dan kuantitatif pada vitamin A,B dan C menggunakan berbagai metode
yang disesuaikan dengan tujuan analisis.
-
3.2.Saran
Dalam analisa pengujian
vitamin sebaiknya dilakukan pada laboraturium dengan peralatan yang tersedia
dengan lengkap dan yang sudah terkalibrasi, karena hal ini dapat mempengaruhi
hasil yang ada. Konsumsi vitamin ini harus cukup dengan yang dibutuhkan tubuh,
karena jika kekurangan vitamin dapat berdampak tidak baik bagi fungsi tubuh itu
sendiri.
Mengapa harus mengencerkan riboflavin dengan asam encer?
BalasHapusTERIMAKASIH UNTUK INFORMASINYA.
BalasHapusSESUAI DENGANYANG SAYA BUTUHKAN DALAM PENULISAN JURNAL PENELITIAN DAN RISET.
SALAM BERKARYA...
^-
^