HUKUM
PERATURAN DAN PERUNDANGAN PERIKANAN
TINJAUAN HUKUM
DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR INDONESIA
(STUDI KASUS PULAU NIPA)
Disusun oleh:
1.
Bias Nur Elmira (105080301111046)
2.
Dessy Puspitasari (105080301111042)
3.
Nuzul Yoga (105080301111050)
4.
Achmad Fathony (105080301111043)
5.
Adiwira Sandrikanata (105080303111002)
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Di
samping memiliki lautan yang luas dan garis pantai yang panjang, Indonesia dikaruniai
pulau-pulau kecil yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi.
Bahkan, pulau-pulau kecil terluar memiliki arti yang lebih strategis lagi yaitu
sebagai titik dasar dari garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dalam
penetapan wilayah perairan Indonesia; zona ekonomi ekslusif Indonesia, dan
landas kontinen Indonesia; sebagai beranda depan Negara RE-publik Indonesia;
dan sebagai kawasan lalu lintas pelayaran internasional. Lebih dari itu, karena
geo-strategis dan geo-politis Indonesia di tengah persilangan Benua Asia dan
Benua Australia serta menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, maka
posisi tersebut rawan dalam permasalahan penegakan kedaulatan, khususnya di
wilayah laut (Oahuri 2000).
Posisi
strategis pulau-pulau terluar tersebut menyebabkan pemerintah perlu segera
memperjelas batas wilayah dengan negara-negara tetangga karena segala potensi
kelautan dan sumber daya lain yang dimiliki Indonesia tidak akan berarti bilamana
wilayah perairannya tidak memiliki batas wilayah laut yang jelas. Ketiadaan batas
wilayah laut yang jelas analog dengan halaman rumah tanpa pagar. Oleh sebab itu
untuk mengklaim seberapa besar potensi kekayaan sumberdaya kelautan harus
diikuti dengan penetapan batas wilayah laut terlebih dahulu. Hal ini sangat
penting karena sebagian besar wilayah perbatasan kita berada di laut dan
pulau-pulau kecil. Wilayah perbatasan negara Indonesia di laut dapat berupa
batas laut teritorial, batas landas kontinen, maupun batas zona ekonomi
eksklusif. Batas-batas terse but dapat difungsikan sebagai pagar-pagar yuridis
dan pagar-pagar politis berlakunya kedaulatan nasional Indonesia dan yurisdiksi
nasional Indonesia. Sebuah negara dapat diakui merdeka dan berdaulat atas
wilayah tertentu (dalam hukum intemasional disebut "A defined
territory" atau batas wilayah tertentu yang pasti). Penentuan luas
wilayah negara, didasarkan pada faktor-faktor tertentu yaitu segi historis,
politis, atau hukum. Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan
hal yang sangat penting, strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan
pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity) , hak-hak berdaulat (sovereign
rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap
zona-zona maritim, sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut
1982 (Agoes, 2004).
Menurut
Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
terluar tereatat ada 92 pulau terluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ke-92 pulau tersebut terse bar di 18 provinsi dan berbatasan dengan 10 negara
tetangga yaitu: Australia (27 pulau), Filipina (11 pulau), India (6 pulau),
Malaysia (17 pulau), Papua Nugini (1 pulau) , Republik Palau (7 pulau),
Singapura (4 pulau),Thailand (1 pulau), Timor Leste (6 pulau), dan Vietnam (3
pulau), sedangkan 9 pulau lainnya berbatasan dengan Samudera Hindia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Oaftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di seluruh wilayah
Indonesia terdapat 183 titik dasar (masih termasuk Pulau Sipadan dan Ugitan)
sebagai aeuan untuk menentukan batas wilayah Negara Republik Indonesia. Oari
183 titik dasar tersebut, 92 di antaranya terdapat di pulau-pulau kedl terluar.
Hal tersebut menunjukkan arti penting pulau-pulau kecil terluar dalam konteks
kedaulatan negara.
Pulau
Nipa merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang belakangan ini sering
menjadi bahasan publik dari berbagai kalangan. Kebanyakan wacana yang berkembang
adalah kekhawatiran tentang ancaman tenggelamnya Pulau Nipa dan reklamasi
pantai yang dilakukan oleh Singapura. Kedua hal tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan
Indonesia kehilangan wilayah laut yang eukup signifikan karena berubahnya titik
dasar pengukuran batas wilayah kedua negara. Pulau Nipa yang berada di antara
Selat Philip dan selat utama (main strait) secara administratif termasuk
ke dalam wilayah Oesa Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Provinsi Kepulauan
Riau. Pulau ini merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Riau yang berada di
bagian terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan
Negara Singapura di sebelah utara. Oi pulau ini terdapat dua titik dasar (basepoint)
yaitu titik 190 dan 190 A. Kondisi fisik Pulau Nipa saat ini diindikasikan rawan
tenggelam pada saat pasang tertinggi, hal ini disinyalir terjadi akibat
aktivitas penambangan pasir di daerah sekitar Pulau Nipa.
1.2. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang dapat diangkat dari suatu permasalahan tersebut
yaitu:
-
Adakah landasan
hukum yang mengatur
perbatasan antara Indonesia dengan Singapura?
-
Bagaimana kebijakan pengelolaan Pulau Nipa sebagai salah satu pulau
kecil terluar Indonesia?
1.3. Tujuan
Tujuan
umum yang ingin dicapai adalah menjawab polemik mengenai kekhawatiran terancam
lepasnya Pulau Nipa serta beberapa pulau keeil terluar lainnya sebagaimana yang
terjadi pada kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. Sedangkan tujuan khususnya
adalah·:
1.
Menganalisis
landasan hukum pengaturan perbatasan antara Indonesia dengan Singapura serta
kaitannya dengan keberadaan Pulau Nipa.
2.
Menganalisis
kebijakan pengelolaan Pulau Nipa sebagai salah satu pulau kecil terluar
Indonesia.
2.
PEMBAHASAN
2.1.
Landasan Hukum Perbatasan
Indonesia-Singapura sebagai Dasar Kepemilikan Pulau Nipa
Perbatasan
Indonesia-Singapura serta kepemilikan Indonesia atas Pulau Nipa didasari oleh
tiga jenis landasan hukum, yaitu hukum internasional, perjanjian bilateral, dan
peraturan perundang-undangan nasional.
2.1.1
Hukum Internasional
a. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
Dalam
Bab IV Pasal 47 ayat (1) UNCLOS 1982
diatur mengenai mekanisme penarikan garis pangkal kepulauan bagi negara-negara
kepulauan (archipelagic state),
yaitu sebagai berikut: Suatu negara
kepulauan dapat menarik
garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau-pulau dan karang-karang terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di
dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau
utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah
daratan, termasuk atoll, adalah antara satu berbanding satu dan sembi/an berbanding
satu. Dalam Bab
II Pasal 2 ayat (1) dan (2)UNCLOS 1982
diatur mengenai status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut
teritorial, dan dasar laut serta tanah di bawahnya yaitu sebagai berikut:
1.
Kedaulatan
suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan,
dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, me/iputi pula suatu jalur
laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial.
2.
Kedaulatan
ini me/iputi ruang udara di atas laut teritorial serfa dasar laut dan tanah
dibawahnya.
Kemudian
dalam konvensi ini diatur juga mengenai lebar laut teritorial dimana setiap
negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak
melebihi 12 millaut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan dalam konvensi
(Pasal 3). Konvensi ini pun secara jelas mengatur bagaimana penetapan garis
batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan satu sama lain, seperti halnya antara Indonesia dengan Singapura,
yaitu sebagai 'berikut: Dalam hal pantai dua negara yang letaknya
berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak,
kecua/i ada persetujuan seba/iknya antara mereka untuk menetapkan batas taut
teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari
titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing
negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan
hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas
laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan
di atas.
b. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
Vienna
Convention on
the Law of Treaties 1969 Dalam konvensi ini disebutkan bahwa perjanjian
antar negara dapat dibatalkan, atau suatu negara dapat mengundurkan diri dari
sebuah perjanjian antar negara jika terdapat kondisi yang disebut fundamental
change of circumstances. Akan tetapi disebutkan pula bahwa kondisi tersebut
tidak dapat membuat suatu negara mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian, apabila perjanjian tersebut menyangkut
penetapan perbatasan (Artikel62 ayat (2a)). A fundamental change of
circumstances may not be invoked as a ground for terminating or
withdrawing from a treaty:
(a) if the treaty establish a boundary; or
(b) if the fundamental change
is the result of a
breach by the party invoking it either of an obligation under the treaty or
of any other international obligation owed to any other party to the treaty.
Berdasarkan
ketentuan tersebut yang sifatnya mengikat, Singapura tidak dapat menarik diri
dari perjanjian dengan Indonesia mengenai penetapan garis batas laut wilayah
kedua negara di Selat Singapura yang telah disepakati di Jakarta pada tanggal 25
Mei 1973 walaupun terjadi berbagai perubahan di wilayah perbatasan antara keduanya
negara.
3.1.2. Perjanjian Bilateral
Antara
Indonesia dan Singapura telah dilakukan perjanjian mengenai penetapan garis
batas laut wilayah kedua negara. Perjanjian tersebut ditandatangani di Jakarta pada
tanggal 25 Mei 1973 dan oleh Pemerintah Indonesia diratifikasi kedalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik
Singapura mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat
Singapura. Dalam penarikan garis batas laut wilayah tersebut, Indonesia menjadikan
Pulau Nipa sebagai titik dasar (base point). Perjanjian tersebut menghasilkan
6 buah titik koordinat sebagaimana tercantum dalam Pasal1 ayat (1).
(1) Garis batas laut wilayah
Republik Indonesia dan Republik Singapura di Selat Singapura adalah suatu garis
yang terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik antara titik-titik yang koordinat-koordinatnya
sebagai berikut:
Tabel 1. Titik-Titik Koordinat
Perbatasan Indonesia-Singapura
Titik-titik
|
Lintang Utara
|
BujurTimur
|
1
|
1° 10' 46"
.0
|
103° 40'
14" .6
|
2
|
1° 07' 49"
.3
|
103° 44'
26" .5
|
3
|
1° 10' 17"
.2
|
103° 48'
18" .0
|
4
|
1° 11' 45"
.5
|
103° 51'
35" .4
|
5
|
1° 12' 26"
.1
|
103° 52'
50" .7
|
6
|
1° 16' 10"
.2
|
104° 02'
00" .0
|
3.1.3. Peraturan Perundang-undangan Nasional
a.
UU
No 17/1985 tentang Pengesahan UNClOS 1982
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 merupakan pengesahan (ratifikasi) Negara Republik Indonesia
atas UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Oleh
karena itu keseluruhan isi dari konvensi tersebut secara resmi telah menjadi
bagian dari hukum nasional dan berlaku sejak tanggal diundangkan. Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1985 terdiri atas dua pasal dan diundangkan pada tanggal 31 Desember
1985.
b.
UU No 6/1996 tentang Perairan
Indonesiajo UU No 4/1960
Dalam
undang-undang ini diatur mengenai status Indonesia sebagai negara Kepulauan (archipelagic
state), penetapan laut teritorial Indonesia, dan metode penarikan garis
pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight baseline). Pada Pasal 2
undangundang ini dijelaskan bahwa:
(1) Negara Republik Indonesia
adalah Negara Kepulauan.
(2) Segala perairan di sekitar,
dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk
daratan Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya
merupakan bag ian integral dari wfrayah dari daratan Republik Indonesia sehngga
merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara
Republik Indonesia. Selanjutnya
dalam Pasal 3 dijelaskan mengenai wilayah perairan Indonesia, yaitu:
·
Wilayah
Perairan Indonesia meliputi laut teritoriallndonesia, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman.
·
Laut
teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari
garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
·
Perairan
Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
Keberadaan
pulau-pulau terluar sebagai base point dalam penarikan garis pangkal
lurus kepulauan secara otomatis menjelaskan bahwa pulau-pulau terluar tersebut
berada pad a wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
secara jelas dalam Pasal 4 undang-undang tersebut, yaitu sebagai berikut:
“Kedaulatan Negara Repub/ik
Indonesia di perairan Indonesia me/iputi laut teritorial, perairan kepulauan,
dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk
sumber kekayaan alam yang teri<andung di dalamnya.”
c. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2002
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang memuat ketentuan bahwa peta yang
menggambarkan wilayah Perairan Indonesia atau Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Peta-peta dengan skala yang memadai yang diperlukan bagi penetapan
batas-batas wilayah Perairan Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia disebutkan bahwa pemerintah menarik garis
pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial (Pasal 2). Kemudian,
di dalam Bab 1\ dijelaskan mengenai penarikan garis pangkal kepulauan, antara
lain garis pangkal lurus kepulauan dan garis pangkal biasa. Garis pangkal lurus
kepulauan diatur dalam Pasal 3, yang pada ayat (1) dan (2) disebutkan:
(1)
Di antara pulau-pulau terluar, dan karang
kering terfuar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut
teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
(1)
Garis
Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar
pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada
Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang
lainnya yang berdampingan.
Sedangkan
garis pangkal biasa diatur dalam Pasal 4, yang pada ayat (1), (2), dan (3) disebutkan
sebagai berikut:
a)
Dalam
hal bentuk geografis pantai suatu pulau terluar menunjukkan bentuk yang normal,
dengan pengecualian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan
Pasal8, Garis Pangkal untuk mengukur lebar Laut Teritorial adalah Garis Pangkal
Biasa.
b)
Garis
Pangkal Biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Garis Air Rendah sepanjang
pantai yang ditetapkan berdasarkan Datum Hidrografis yang berlaku pada pulau
terluar yang terletak pad a atol atau pada pulau terluar yang mempunyai karang-karang
di sekitarnya, Garis Pangkal untuk mengukur lebar Laut Teritorial adalah Garis
Pangkal Biasa berupa Garis Air Rendah pada sisi atol atau karangkarang tersebut
yang terjauh ke arah laut.
3.2. Pengelolaan
Pulau-Pulau Terluar Indonesia
3.2.1. Permasalahan
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Permasalahan
yang dihadapi pulau-pulau kecil terluar sebagai wilayah perbatasan, antara
lain:
1)
Belum
adanya kepastian sebagian garis batas laut dengan negara tetangga.
2)
Untuk
pulau-pulau yang berpenduduk, kondisi masyarakat di wilayah tersebut masih terisolir
dan terma~inalkan, sehingga
memifiki tingkat kerawanan yang tinggi di bidang eonomi, politik, dan keamanan.
3)
Maraknya
pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan,
pencurian ikan, trafficking, dan perompakan.
4)
Terbatasnya
prasarana dan sarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengembangan,
khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil, sufit dijangkau dan tidak
berpenghuni.
5)
Ukuran
pulau di perbatasan umumnya pulau-pulau yang sangat kecil sehingga sangat
rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia.
6)
Belum
sinkronnya pengelolaan perbatasan, baik yang mencakup kelembagaan, program,
maupun kejelasan kewenangan.
7)
Belum
adanya peraturan perundangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan
pulau-pulau terluar.
8)
Adanya
salah penafsiran tentang Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah yang menimbulkan berbagai konflik dalam kewenangan pengelolaan wi/ayah
perairan.
9)
Kurangnya
sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar.
Dalam
kasus Pulau Nipa terdapat beberapa permasalahan utama yang dihadapi. Pertama,
masih adanya titik-titik koordinat garis batas yang belum disepakati antara
Indonesia dengan Singapura. Titik-titik tersebut berada di sebelah barat dan
timur dari 6 titik koordinat yang telah disepakati pada tahun 1973, titik-titik
yang belum disepakati ini/ah yang rawan bagi kedaulatan Indonesia. Kedua,
rentannya Pulau Nipa terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh faktor alamiah
maupun faktor manusia. Ketiga, masih terbatasnya prasarana dan sarana untuk
'melakukan pembangunan, pengawasan, dan pengembangan Pulau Nipa karena letak
pulau ini terpendl, sulit dijangkau, dan tidak berpenduduk.
3.2.2. Aspek-Aspek Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
Terluar
Pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar
terutama pulau-pulau yang berbatasan Iangsung
dengan negara
tetangga dilakukan setidaknya membawa tiga misi, yaitu;
1) menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Repubfik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara, dan
menciptakan stabilitas kawasan;
2) Pemanfaatan sumber daya alam
dalam rangka pembangunan berkelanjutan;
3) Memberdayakan masyarakat dalam
rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Kawasan
pulau-pulau keciI terluar memiliki arti penting dalam pengembangan bangsa dan
negara, karena kawasan ini secara geopolitik memiliki ni/ai strategis, secara ekonomi.
berkaitan dengan penguasaan zona ekonomi eksklusif dan zona landas kontinen,
dan secara politis sangat terkait dengan batas teritorial laut. Kawasan ini
juga merupakan kawasan potensial te~adinya dispute dan konflik dengan negara tetangga serta
sebagai penentu struktur geografi dan volume wi/ayah.
Sebagai
pulau yang tak berpenduduk, pengembangan Pulau Nipa mengacu pada misi menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Repubfik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan
negara, serta mendptakan stabi/itas kawasan serta memanfaatkan sumber daya alam
yang dimiliki Pulau Nipa dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Sedangkan
aspek-aspek utama yang sudah dilaksanakan dalam pengembangan Pulau Nipa berdasarkan
8 aspek pertimbangan diatas adalah:
1)
Pertahanan
dan keamanan, meliputi pembuatan pos jaga TNI AI, penempatan personil TNI di
Pulau Nipa, dan patroli rutin di perairan sekitar Pulau Nipa;
2)
Sumberdaya
alam, meliputi upaya-upaya untuk mengetahui secara rinci data dasar keseluruhan
kekayaan sumberdaya alam Pulau Nipa, antara lain dengan riset-riset yang
dilakukan baik oleh tim dari DKP maupun BPPT;
3)
Geografi,
meliputi pembuatan jaringan perhubungan laut, darat, dan udara, serta sarana telekomunikasi,
antara lain dengan pembangunan jembatan-jembatan yang menghubungkan Pulau Nipa
dengan Pulau Tonton dan Pulau Setoko oleh Pemerintah Daerah Batam, dan
pembangunan tower roceiveroleh PT Telkom.
3.2.3. Kelembagaan
dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Strategi
pembangunan pulau-pulau kecil terluar yang telah diuraikan diatas perlu
dilakukan secara terpadu antar sektor. Pembangunan yang dilakukan harus terintegrasi
dengan mengutamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan mencakup
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan dengan konsep kemitraan, monitoring,
serta evaluasi pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan melibatkan institusi
independen. Integrasi pembangunan wilayah perbatasan memerlukan penanganan dalam
bentuk kemitraan sebab beban pembangunan tidak dapat hanya dilakukan oleh
pemerintah daerah sendiri dengan keterbatasan sumber dana, sumber daya manusia,
dan institusi.
Pembangunan
pulau-pulau kecil terluar harus melibatkan seluruh instansi sektoral terkait
dengan memanfaatkan berbagai sumber dana pembangunan (Iokal, nasional, dan
internasional), kekuatan ekonomi daerah, serta melibatkan peran sektor
perbankan pemerintah dan swasta dan lembaga keuangan non bank. Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, yang
selanjutnya disebut Tim Koordinasi. Tim tersebut merupakan wadah koordinasi
non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
presiden. Tim tersebut bertugas untuk mengkoordinasikan dan merekomendasikan
penetapan rencana dan pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar; serta
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaannya. Penyelenggaraan tugas
Tim Koordinasi sehari-hari dibantu oleh Tim Kerja yang dikoordinasikan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain Tim Koordinasi dan Tim Kerja,
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga melibatkan pemerintah daerah sebagai
pemilik kewenangan pembangunan di mana pulau tersebut berada. Disebutkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar dilakukan secara terpadu antara pemerintah bersama-sama dengan
pemerintah daerah. Seiring dengan diterapkannya UndangUndang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah maka daerah memiliki peluang untuk
merencanakan, mengelola, dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya di
daerahnya, termasuk sumberdaya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang ada
di wilayahnya.
3.3. Analisis
Kebijakan Pengelolaan Pulau Nipa Sebagai Pulau Kecil Terluar
Secara
umum terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan menyangkut permasalahan
pulau-pulau kecil terluar sebagai suatu wilayah perbatasan, yaitu aspek hukum
dan aspek pengelolaan. Aspek hukum menyangkut bagaimana batas-batas Negara
Kesatuan Republik Indonesia memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat. Dasar hukum
tersebut dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan perundangundangan maupun
ratifikasi dari perjanjian-perjanjian. Sedangkan aspek pengelolaan menyangkut
bagaimana wilayah perbatasan negara dikelola dengan suatu kebijakan yang jelas
dan terarah. Dua aspek terse but bersifat saling menguatkan sehingga tidak
dapat dipisah-pisahkan dalam pelaksanaannya. Tanpa adanya dasar hukum yang kuat
terhadap pulau-pulau kecil terluar, pengelolaan yang dilakukan dapat menjadi
sia-sia, karena dasar hukum yang lemah terhadap kepemilikan pulau-pulau
tersebut dapat menjadi peluang bagi negara yang berbatasan untuk
menyengketakannya. Hal ini yang terjadi pada kasus Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan. Oasar kepemilikan yang lemah menghasilkan kekalahan bagi Indonesia
dalam sengketa perebutan kedua pulau tersebut.
Begitu
pula sebaliknya, dasar hukum yang kuat mengenai kepemilikan pulau-pulau kecil terluar
tidak akan berarti apa-apa tanpa ditindaklanjuti dengan pengelolaan yang berkesinambungan.
Karena tanpa adanya tindakan pengelolaan, berarti potensi-potensi yang dimiliki
pulau-pulau kecil terluar tidak dapat tergali dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penguatan terhadap kedua aspek tersebut
harus dilakukan secara bersamaan di bawah satu payung kebijakan. untuk
mengakomodasi dua aspek utama dalam permasalahan pulau-pulau kecil terluar
tersebut diperlukan koordinasi yang solid antar lembaga yang terkait. Matriks kebijakan
berikut menggambarkan sebaran peran dan kewenangan tiga instansi yang terkait
dalam permasalahan pulau-pulau kecil terluar, yaitu OKP, Oeplu, dan Oephan. Oari
matriks ini ingin diketahui koordinasi dan irisan kewenangan dari masing-masing
instansi tersebut.
3.3. Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Ada
dua strategi dalam pengelolaan kawasan pulau-pulau keeil terluar Indonesia,
termasuk di dalamnya Pulau Nipa, yaitu strategi jangka pendek dan jangka
panjang. Strategi jangka pendek, meliput:
1.
Sosialisasi
Perpres No 7812005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
2.
Melakukan
identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau kecil terluar.
3.
Melakukan
rekonstruksi dan pemeliharaan titik-titik referensi dari titik-titik dasar.
4.
Membangun
pelindung pantai dari aneaman abrasi.
5.
Melakukan
patroli keamanan laut yang dimaksudkan sebagai upaya preventif (pencegahan)
maupun upaya represif (penindakan).
6.
Sosialisasi
tentang pentingnya menjaga pulau-pulau kecil terluar.
Strategi jangka panjang meliput:
1. Mengundang investasi untuk
pengembangan pulau-pulau kecil terluar.
2. Menjadikan pulau-pulau yang
memiliki produktivitas hayati tinggi sebagai kawasan konservasi.
3. Melakukan penataan ruang pada
wilayah pulau-pulau keeil termasuk laut dan pesisimya.
4. Meningkatkan kerjasama
bilateral dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
5. Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal melalui kegiatan pemberdayaan.
Startegi pengelolaan Pulau
Nipa yang dapat dirumuskan:
1)
Merampungkan
perundingan mengenai titik-titik koordinat garis batas laut teritorial yang
belum disepakati dengan Singapura (sampai sa at ini sudah disepakati 6 titik koordinat).
2)
Mempercepat
upaya penyelamatan Pulau Nipa dari bahaya tenggelam.
Yaitu dengan
reklamasi, pembuatan pemeeah gelombang, penanaman mangrove, dan sebagainya.
3)
Menyusun
blue print pembangunan Pulau Nipa sebagai pedoman arah pengembangan
Pulau Nipa.
4)
Menetapkan
regulasi mengenai investasi dalam pengembangan Pulau Nipa.
5)
Meningkatkan
penyediaan sarana dan prasarana sebagai upaya mengakselerasi pengembangan Pulau
Nipa.
6)
Peningkatan
pengamanan serta pengawasan terhadap Pulau Nipa dan Laut Teritoriallndonesia
yang berbatasan dengan Singapura.
- PENUTUP
3.1. Kesimpulan
·
Perbatasan
laut wilayah antara Indonesia dengan Singapura memiliki landasan-landasan hukum
yang kuat sehingga dapat dipastikan bahwa Pulau Nipa tidak akan lepas dari
kedaulatan Negara Republik Indonesia seperti yang terjadi pada Pulau Sipadan
dan Ligitan. Landasan-Iandasan hukum tersebut, yaitu:
·
Hukum
Intemasional:
- United Nations Convention on the Law
of the Sea (UNCLOS) 1982
- Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969.
·
Perjanjian
Bilateral, berupa perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Singapura pada tanggal 25 Mei 1973. Perjanjian tersebut
diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang
Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura mengenai Penetapan
Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura Tahun 1973.
·
Peraturan perundangan nasional:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
1982.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia juncto
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.
·
Strategi
kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terbagi menjadi dua, yaitu:
Strategi jangka pendek, meliput :
1. Sosialisasi Perpres No 7812005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar.
2. Melakukan identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau
kecil terluar.
3. Melakukan rekrontuksi dan pemeliharaan titik-titik
referensi dari titik-titik dasar.
4. Membangun pelindung pantai dari ancaman abrasi.
5. Melakukan patroli keamanan laut yang dimaksudkan
sebagai upaya preventif (pencegahan) maupun upaya represif (penindakan).
6. Sosialisasi tentang pentingnya menjaga pulau-pulau
kecil terluar.
Strategi
jangka panjang meliput :
1. Mengundang investasi untuk pengembangan pulau-pulau
kecil terluar.
2. Menjadikan pulau-pulau yang memiliki produktivitas
hayati tinggi sebagai kawasan konservasi.
3. Melakukan penataan ruang pada wilayah pulau-pulau
kecil termasuk laut dan pesisimya.
4. Meningkatkan ke~asama bilateral dalam pengelolaan
kawasan perbatasan.
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui
kegiatan pemberdayaan.
·
Kebijakan
pengelolaan Pulau Nipa yang telah dijalankan, yaitu:
- Penghentian sementara kegiatan eksploitasi
dan ekspor pasir laut melalui keputusan bersama Menteri Perdagangan dan
Perindustrian, Menteri Perikanan dan Kelautan, dan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tahun 2002.
- Pereklamasian pulau yang dilakukan oleh Oepartemen
Pemukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang Oepartemen Pekerjaan Umum) seluas
1,819 ha.
- Pembangunan prasarana dan sarana komunikasi serta
transportasi untuk memacu laju pengembangan Pulau Nipa. Oi bidang komunikasi
pada pertengahan Maret 2006 PT Telkom Kandatel Riau Kepulauan telah
menyelesaikan pembangunan tower repeater di Pulau Nipa. Sedangkan untuk
prasarana transportasi telah dibangun dua buah jembatan yang menghubungkan
Pulau Nipa dengan Pulau Tonton dan Pulau Setoko.
·
Kebijakan
pengelolaan Pulau Nipa yang masih berupa rencana adalah akan dijadikannya Pulau
Nipa sebagai' kawasan bisnis berbasis kelautan dan perikanan. Sasaran yang akan
dikembangkan dalam kawasan tersebut antara lain adalah wisata bahari serta jasa
tambatkapal pesiar (yacht). Pengelolaan kawasan bisnis tersebut
rencananya akan diserahkan kepada sektor swasta.
3.2. Saran
1) Pemerintah harus mempercepat
penyelesaian perjanjian batas wilayah dengan Singapura untuk titik-titik
koordinat yang belum disepakati pada perjanjian tahun 1973, agar tidak ada
celah bagi Singapura untuk bersengketa dengan Indonesia di kemudian hari.
2) Pemerintah sebaiknya segera
menyelesaikan rancangan undang-undang tentang perbatasan dan rancangan
undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagai payung hukum bagi pembangunan wilayah tersebut.
3) Melibatkan sektor swasta dalam
pengembangan pulau-pulau kecil terluar berpotensi dengan sistem kemitraan,
tetapi dengan catatan perlu adanya kualifikasi ketat dalam pemilihan pihak
swasta tersebut.
4) Mensosialisasikan pada
masyarakat tentang pentingnya arti pulau-pulau terluar bagi bangsa dan negara
Republik Indonesia.
5) Melakukan kerjasama dengan
negara-negara tetangga dalam pengelolaan wilayah perbatasan dalam rangka
menghindari konflik serta menjaga stabilitas kawasan.
6) Memperhatikan keseimbangan
lingkungan dalam pembangunan pulau-pulau kecil terluar.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes ER. 2004. Implementasi
Nasional Konvensi Hukum Laut 1982. [Makalah Lokakarya Hukum Laut
Internasional]. Yogyakarta, 13-15 Desember 2004.
Soekanto S. 1986. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Suharto E. 2005. Analisis Kebijakan
Publik. Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar