PROSES PEMBEKUAN UDANG DI PT. GRAHAMAKMUR
CIPTAPRATAMA KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR
PRATKEK KERJA MAGANG
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
OLEH:
ACHMAD
FATHONY 105080301111043
ACHMAD
NIZAR W 105080301111015
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Negara Indonesia adalah Negara
maritime dengan mempunyai banyak wilayah lautan. Sehingga dengan wilayah yang
luas ini dapat dimanfaatkan karena adanya sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Jga adanya pantai yang panjang mendukung keanekaragaman dari sumberdaya alam
yang terkandung didalamnya. Juga didukung tata letak dari Negara Indonesia yang
terdiri dari beribu-ribu pulau kecil dan besar yang ada didalam nya. Dengan
demikian maka Negara Indonesia memilki kekayaan perairan yang berupa ikan yang
beraneka ragam macamnya, kerang-kerangan, rumput laut, hutan bakau, crustacean,
decapoda, cumi-cumi, udang dan masih banyak lagi biota yang terkandung
didalamnya (Dahuri, 2003).
Sepuluh tahun terakhir ini
permintaan teradap udang rata-rata menunjukan peningkatan 5% – 8% per tahunnya,
terutama oleh Negara-negara maju seperti Jepang, AS, Eropa, dan Negara di Asia
seperti Hongkong, Korea, Taiwan, dan Singapura. Peningkatan konsumsi di Amerika
Serikat misalnya, pada lima tahun terakhir ini menunjukan kenaikan 47%. Di dalam
negeri konsumsi udang sangat kecil baru sekitar 0,6 Kg/Kapita disbanding Jepang
yang sudah mencapai 3,0 Kg/Kapita dan Amerika Serikat 1,2 Kg/Kapita. Jika
permintaan konsumsi dalam negeri dapat dinaikkan menjadi 1,0 Kg/Kapita dengan
jumlah penduduk sekitar 250 juta orang maka kebutuhan udang nasional dapat
diperkirakan mencapai 250.000 ton (Tambunan, 1993).
Potensi yang besar serta tingkat
kebutuhan yang tinggi inilah maka diperlukan upaya serta langkah-langkah
optimal dalam pengolahannya. Kemajuan Ilmu dan teknologi perikanan Indonesia
mempunyai sasaran yaitu memanfaatkan sumberdaya alam secara optmal, memenuhi
kebutuhan protein ikani, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan devisa,
serta melestaikan sumber daya alam (Ilyas, 1983).
Selama ini udang dijual dalam
bentuk beku atau es bik untuk tujuan eksport atau untuk penjualan di
pasar-pasar local. Harganya tergantung dari ukuran, jenis dan mutunya. Pada
dasarnya produk udang beku (Frozen Prawns
Product) menurut Ilyas (1983) udang dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu
produk beku mentah (Raw Forzen Product),
produk rebus beku (Pre-cooking Forzen Product) dan produk olahan beku (Processed Forzen Product).
Pembekuan udang diterapkan secara
luas dan intensif dalam usaha perikanan. Hal ini terbukti mampu mengawetkan
dalam bentuk kesegaran mendekati kesegaran ikan yang baru ditangkap dari air
(Ilyas, 1983).
Pada prinsipnya pembekuan merupakan
salah satu cara memperlambat terjadinya proses penurunan mutu baik secara
autolysis, bakteriologis, atau oksidasi dengan suhu dingin. Walaupun dapat
menghambat pertumbuhan organisme serta dapat memperlambat reaksi kimia dan
aktivitas enzim, pembekuan bukan cara untuk mensteril ikan, sesudah ikan
dibekukan dan disimpan dalam gudang beku tidak akan lepas begitu saja dari
prses kemunduran mutu (Purwaningsih, 1995).
Mengingat udang cepat mengalami
kemunduran mutu, maka perlu ditinjau masalah-masalah yang berhubungan dengan
penurunan mutu selama proses pengolahan , karena hal ini sangat berperan dalam menghasilkan produk
akhir yang bermutu tinggi. Kualitas udang yang dihasilkan senantiasa mengalami
perubahan, sehingga sedikit mungkin penurunan mutu udang dihambat dan
diupayakan selama proses pengolahan agar tidak melebihi ketentuan standar yang
ditetapkan. Oleh karena itu untuk mempertahankan mutu udang tetap baik, maka
perlu adanya pengusuhan pasca panen yang tepat.
1.2
Maksud
dan Tujuan
Maksud dari pelaksanaan Praktek
Kerja Magang ini adalah untuk mengetahui dan meningkatkan keterampilan mengenai
proses pembekuan produk perikanan yang di terapkan di PT. GrahaMakmur
CiptaPratama, Sidoarjo – Jawa Timur dengan menggabungkan antara ilmu perikanan
yang diperoleh dari perguruan tinggi
dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Tujuan dari pelaksanaan Praktek
Kerja Magang ini adalah untuk:
-
Memahami serta dapat melakukan proses pembekuan
udang mulai dari penerimaan bahan baku, proses pembekuan hingga menjadi produk
udang beku yang siap dipasarkan kepada konsumen
-
Mendapatkan data dan keterampilan yang bersifat
teknis tentang proses pembekuan mulai dari perolehan bahan baku sampai produk
akhir
-
Mengetahui proses penerapan sanitasi dan hygiene
mulai dari penerimaan bahan baku sampai produk akhir
-
Mengetahui sarana prasarana yang digunakan
selama proses produksi oleh perusahaan PT. GrahaMakmur CiptaPratama, Sidoarjo –
Jawa Timur
1.3
Waktu
dan Tempat
Praktek Kerja Magang ini
dilaksanakan pada tanggal 31 Januari – 09 Februari 2012 bertempatkan di PT.
GrahaMakmur CiptaPratama yang beralamatkan di jalan Industri no.29A Buduran,
Sidoarjo, Jawa Timur.
1.4
Bentuk
Kegiatan
Kegiatan yang digunakan dalam
pelaksanaan Praktek Kerja Magang adalah dengan berbagai bentuk kegiatan yaitu
pertisipasi atau praktek kerja langsung dalam proses pembekuan udang, melakukan
wawancara dengan staff dan karyawan perusahaan, pengambilan data dari studi
perbandingan literature atau sumber lain yang telah ada sebelumnya.
2.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Udang
Udang sebagai komoditi eksport non
migas sejak mulai digalakkan budidayanya. Jenis udang yang dikembangkan utamanya
yaitu udang tambak. Meskipun demikian, nelayan kita ada yang menangkap jenis
udang laut untuk diperdangkan (Muchtadi dan Sugiono, 1992).
Udang merupakan bahan makanan yang
bernilai tinggi dan digemari oleh banyak orang, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Penilaian tersebut didasarkan atas nilai komersial dan nilai
gizinya (Moeljanto, 1975). Menurut pernyataan Darmono (1991), udang sangat
digemari oleh konsumen Negara maju karena kolesterolnya yahng rendah daripada
hewan mamalia, maupun rasanya yang sangat gurih ini terbukti dagingnya
mempunyai kelebihan pada kandungan asam aminonya dari pada daging hewan darat.
Serta kandungan asam amino tirosin, triptofan dan sistein lebih tinggi
terhadap daging udang. Tetapi daging
udang mengandung kadar histidin lelbih rendah(Hadiwiyoto, 1993). Adapun
komposisi rata-rata daging udang menurut Mahmud et al., (2005) per 100 gr BDD adalah:
Komponen
|
Jumlah
|
Air
Energi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalium
Pospor
Tembaga
Zing
Tiamin
Niasin
|
85,5 gram
56 kkal
11,4 gram
0,6 gram
1,2 gram
210 mg
20 mg
0,4 mg
0,8 mg
0,14 mg
0,1 mg
|
Tabel
1. Komposisi Daging Udang
Udang yang diperdagangkan di dunia
dikenal mempunyai berbagai ragam spesies. Keragaman itu dapat dibagi atas
habitat asalnya. Berdasarkan asal habitatnya dapat dibagi menjadi 3 kelompok
besar yaitu pertama spesies udang
laut dingin, kelompok spesies ini berasal dari dan hidup dilaut dingin.
Petumbuhan lambat dan bentuk tubuh lebih kecil daripada udang yang berasal dari
daerah tropika. Kedua Spesies udang
laut tropika, kelompok spesies ini berasal dan hidup di perairan pantai daerah
tropika serta memiliki ukuran yang lebih besar. Ketiga Spesies udang air tawar kelompok spesies ini hidup didanau
sungai dan dibudidayakan ditambak daerah tropika (Kismono, 1991).
Menurut Hadiwiyoto (1993),
udang-udangan yang mempunyai nilai ekonomis tingi biasanya ditangkap didaerah
lautan yang tidak begitu dalam, tetapi banyk pula udang-udangan yang
dibudidayakan sebagai udang-udang tambak, seperti msalnya udang galah. Daerah
laut yang biasa menghasilkan udang adalah laut sepanjang pantai utara jawa,
sekitar Cilacap, Kalimantan, Sulawesi, Laut Maluku dan Pantai Barat Sumatera.
Sementara budidaya udang tambak banyak dijumpai didaerah pantai-pantai
Sidoarjo, Cilacap, Jepara, Pasuruhan sampai Panarukan, Pantai utara Jawa Barat,
Sulawesi dan Sumatera.
2.2
Mutu
Udang
Menurut Fennema (1982), hasil
perikanan termasuk udang merupakan salah satu komoditi yang digolongkan pada Highly Periseble, dimana dalam waktu
satu jam setelah kematian akan segera mengalami proses kemunduran mutu yang
tentunya setelah melewati masa rigormortis. Menurut Pandit (2002), proses
penurunan mutu ini selain disebabkan oleh reaksi enzimatis, biokimiawi dan
bakteri. Penurunan mutu ini sangat erat kaitannya dengan keadaan fisik, cara
penanganan waktu dan suhu penyimpanan. Kerusakan biokimia disebabkan oleh
dirinya sendiri. Sementara itu kerusakan mikrobiologis disebabkan karena
aktivitas mikrobia, terutama bakteri (Hadiwiyoto, 1993).
Setelah udang ditangkap, oleh
karena factor waktu dan suhu, maka udang akan mengalami perubahan ke arah
menurunnya mutu dan akhirnya akan membusuk. Udang yang baru ditangkap
warnanyacemerlang dan lembab. Setelah memasuki penurunan mutu terjadilah
perubahan warna (diskolorasi) dari
warna aslinya kearah warna kecoklatan dan akhirnya warna kehitaman; bau segar
udang baru ditangkap segera akan hilang, akhirnya berubah kea rah bau amoniak
dan busuk; citarasa udang pun akan berkurang; tekstur yang mulanya kompak dan
elastic akan berubah menjadi lembek; hubungan antara ruas jadi longgar
sedangkan kepala agak terkulai longgar; udang diliputi oleh bercak hitam (Black Spot) yang sangat mengurangi nilai
harganya (Ilyas, 1993).
Suatu gejala memberatkan bagi mutu
kesehatan udang adalah timbulnya bercak hitam (Black Spot), bercak hitam ini biasanya timbul antara dua sampai
empat hari pada udang yang langsung diberi es sejak ditangkap. Noda ini mulai
berkembang dari kepala lau meluas ke membrane kulit penghubung ruas – ruas
tubuh hingga meliputi sirip ekor. Pada tingkat lanjut meluas pula kesirip, kaki
perangkap dan kaki perenang sehingga seluruhnya akan mengalami penghitaman.
Gejala bercak hitam atau Melanossis ini
disebabkan oleh kegiatan enzim. Bercak hitam ini adalah senyawa melanin,
sesudah udang mati ezim oksidatif tirosin (substrat) menjadi melanin yang
berwarna hitam. Proses terjadinya melanosis tergantung pada adanya substrat tirosinpada kulit udang (chitin), oksigen molecular dan enzim tyrosinase.
Ciri udang yang segar adalah kalau sekelompok udang disentuh dengan jari, udang
yang segar akan mudah bergeser antara sesamanya, tidak ada bau busuk, daging
padat kenyal, berwarna hijau keabu-abuan dan semi transparan (Munchtadi dan
Sugiono, 1992).
Hasil perikanan yang baik adalah
yang masih segar karena hal ini disukai oleh konsumen. Keadaan seperti itu
dapat diperoleh dari penanganan dan sanitasi yang baik. Kesegaran adalah tolak
ukur membedakan hasil perkanan yang baik kualitasnya. Hasil perkanan dikatakan
masih segar, jika perubahan – perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi
yang belum menyeabkan kerusakan berat pada hasil perikanan. Berdasarkan
kesegarannya hasil perikanan termasuk udang dapat digolongkan menjadi empat
mutu yaitu hasil perikanan yang masih baik sekali (prima), hasil perikanan yang
kesegarannya masih baik (advance), hasil perikanan yang kesegarannya sudah
mulai mundur (sedang), dan hasil perikanan yang kesegarannya sudah rendah
(busuk), Parameter untuk menentukan kesegaran hasil perikanan-perikanan
termasuk udang dapat terdiri atas factor fisikawi, sensorik/organoleptik,
kimiawi maupun mikrobiologi (Hadiwiyoto, 1993).
Menurut Mujiman dan Suyanto (1989),
udang yang masih bermutu baik dan laku untuk di eksport harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berkut; utuh, kulit licin, warna asli sesuai jenis, tidak
ada bagian black spot dibagian tubuh, mata bulat hitam, bening serta bercahaya,
daging kenyal, rasa manis, kulit kuat, bau segar khas, dan ukuran seragam.
Umumnya udang telah mengalami penurunan mutu akan terlihat dari kenampakan yang
sudah tidak segar lagi, disamping itu dari kenampakan akan terlihat
bintik-bintik hitam (Black Spot) yang
akan terlihat jelas pada ruas-ruas abdomennya.
2.3
Pengawetan
dengan Pembekuan
2.3.1 Prinsip Pembekuan
Prinsip dasar dari pembekuan ikan
dan hasil perikanan adalah mengenyahkan panas dari ikan dengan kelajuan tinggi
artinya dalam waktu lebih singkat, sehingga ikan tidak mengalami perubahan mutu
yang berarti dalm mencapai suhu rendah penyimpanan dan dapat mengawetkan ikan
dalam waktu panjang selama penyimpanan beku dan distribusi (Ilyas, 1983).
Sedangka menurut Dincer (2000),
prinsip pembekuan adalah mengontrol aktivitas enzim dan mikroorganisme dan
menurunkan kecepatan reaksi yang mampu menyebabkan perubahan mutu. Pembekuan
adalah satu proses refrigrasi makanan terpenting untuk pengawetan dalam jangka
waktu yang lama karena adanya penurunan suhu dibawah titik beku. Pembekuan
dapat merubah kandunagn air produk menjadi es sehingga suhu pada pusat bahan
pangan mencapai -180C dan bisa lebih rendah jika dalam penyimpanan.
Secara prakteknya pembekuan terkandung penurunan suhu yang secara umum mencapai
-180C atau dibawahnya sehingga mengakibatkan terjadinya kristalisasi
air atau larutan lainnya.
Menurut Hariadi (1994), secara singkat proses pembekuan
cairan didalam tubuh ikan atau udang dapat dibagi menjadi tiga fase:
1
Terjadi penurunan suhu wadah penyimpanan yang
segera diikuti dengan suhu penurunan suhu tubuh ikan atau udang. Meskipun suhu
telah menurun, proses pembekuan baru akan terjadi setelah tubuh udang mencapai
00C dengan ditandai dengan terbentuknya Kristal-kristal es. Pada
fase ini, pembekuan es akan berlangsung sangat cepat.
2
Penurunan suhu lebih lanjut akan meningkatkan
pembekuan cairan tubuh. Biasanya proses pembekuan ini akan segera terhenti
apabila suhu tubuh telah mencapai -120C. Kisaran suhu ini disebut
pula sebagai daerah kritis, karena sebagian besar cairan tubuh ikan atau udang
mengalami pembekuan. Untuk menurunkan suhu tubuh dari 0 sampai -120C
diperlukan waktu cukup lama, karena selain banyak panas yang harus dibebaskan,
Kristal es yang telah terbentuk pada bagian luar akan menghambat proses
pembekuan cairan tubuh bagian dalam.
3
Karena sebagian besar cairan tubuh udang telah
banyak yang membeku pada periode sebelumnya, pada fase ini proses pembekuan
akan berlangsung lambat, meskipun suhu terus diturunkan hingga mencapai -300C.
Teknik pembekuan secara efektif
sangat penting untuk mengontrol semua masalah yang menyangkut mutu kecuali
elastisitas dan kehilangan air. Kontrol yang beralasan terhadap elastisitas dan
kehilangan air dapat dilakukan dengan cara menstabilkan suhu pada waktu
penyimpanan (Fennema, 1982).
2.3.2 Proses Pembekuan
Menurut Afrianto dan Liviawati (1989), berdasarkan
waktu yang dibutuhkan untuk melintasi daerah kritis (critical zone), poses pembekuan dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1
Pembekuan cepat (quick freezing), yaitu proses pembekuan dimana thermal arrest priod kurang dari dua jam.
2
Pembekuan lambat (slow freezing), yaitu proses pembekuan dimana thermal arrest priod lebih dari dua jam.
Temperatur dingin mengurangi
aktifitas dan reaksi enzim yang ada didalam insang dan jaringan ikan. Enzim ini
ikut dalam pencernaan ikan dan ada dalam jaringan ikan dan sel pertumbuhannya
(Stuiber, 1986).
Teknologi pembekuan makanan
adalah teknologi mengawetkan makanan dengan menurunkan temperaturnya
hingga di bawah titik
beku
air. Hal ini berlawanan dengan pemrosesan termal, di mana makanan
dipaparkan ke temperatur tinggi dan memicu tegangan termal terhadap makanan,
dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi,
perubahan rasa, tekstur, dan sebagainya, atau pemrosesan kimia dan fermentasi
yang dapat mengubah sifat fisik dan kimia makanan. Makanan beku umumnya tidak mengalami hal
itu semua; membekukan makanan cenderung menjaga kesegaran makanan. Makanan beku
menjadi favorit konsumen
melebihi makanan kaleng atau makanan kering, terutama di sektor hasil peternakan (daging dan
produk susu), buah-buahan,
dan sayur-sayuran. Hampir
semua jenis bahan makanan dapat dibekukan (bahan mentah, setengah jadi, hingga
makanan siap konsumsi) dengan tujuan pengawetan. Proses pembekuan makanan
melibatkan pemindahan panas dari produk makanan. Hal ini akan menyebabkan
membekunya kadar air di dalam makanan dan
menyebabkan berkurangnya aktivitas air di dalamnya. Menurunnya
temperatur dan menghilangnya ketersediaan air menjadi penghambat utama
pertumbuhan mikroorganisme dan
aktivitas enzim di
dalam produk makanan, menyebabkan makanan menjadi lebih awet dan tidak mudah
membusuk. Keunggulan dari teknik pembekuan makanan adalah semua hal tersebut
dapat dicapai dengan mempertahankan kualitas makanan seperti nilai nutrisi,
sifat organoleptik, dan sebagainya. Ketika
makanan dipaparkan ke temperatur dingin, produk makanan tersebut akan
kehilangan panas akibat laju pindah panas yang terjadi dari makanan
ke medium bertemperatur rendah di sekitarnya. Permukaan makanan akan mengalami
penurunan temperatur lebih cepat dibandingkan dengan bagian dalamnya. Jumlah
air yang membeku dalam produk makanan tergantung pada temperatur pembekuan;
kandungan campuran zat makanan amat memengaruhi hal tersebut. Umumnya, semakin
cair suatu bahan makanan, jumlah air yang membeku akan semakin banyak. Tetapi, kuning telur
masih menyisakan lebih dari 20 persen air meski sudah didinginkan hingga minus 40oC.
Hal ini dikarenakan kandungan protein
yang tinggi yang terlarut dalam air. Kekurangan teknik pembekuan adalah
sulitnya membekukan kandungan air yang ada dalam bahan makanan secara sempurna
sehingga masih menyisakan risiko pertumbuhan mikroorganisme; untuk mengatasinya
diperlukan pendinginan lebih jauh lagi untuk menghentikan aktivitas enzim
mikroorganisme dan/atau membekukan lebih banyak air, namun hal itu tidaklah
ekonomis (Wikipedia, 2012).
2.3.3 Alat-Alat Pembekuan
Tipe peralatan yang digunakan untuk produk tertentu
ditentukan oleh berbagai faktor. Sensivitas produk, ukuran, dan bentuk produk
makanan serta kualitas akhir yang diperlukan, laju produksi, ketersediaan
ruang, kapasitas investasi, tipe media pendinginan yang digunakan, dan
sebagainya. Peralatan pembekuan secara umum dapat dikelompokan sebagai berikut:
- Memanfaatkan kontak langsung dengan permukaan dingin; produk makanan, baik dalam keadaan dikemas atau tidak, diekspos secara langsung dengan permukaan dingin, logam, lempengan, dan sebagainya.
- Memanfaatkan media udara sebagai media pendinginan; udara dalam temperatur yang sangat dingin digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Air blast, spray udara, fluidized bed juga termasuk dalam metode tersebut.
- Menggunakan cairan sebagai coolant. Dalam hal ini, cairan yang bertemperatur sangat rendah, titik didih yang rendah, serta memiliki konduktivitas termal yang tinggi digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Cairan disemprotkan ke produk atau produk direndam ke dalam cairan. Termasuk dalam metode ini adalah cryogenic.
2.4
Bahan
Pendingin
Refrigerant adalah suatu zat yang pada tekanan 1 atm
mempunyai titik didih sangat rendah yaitu sampai -1570 C,
sedangkan zat yang mempunyai titik dibawah temperature tersebut disebut
Cryogenik.
Dalam mesin pendingin keberadaan refrigerant adalah mutlak
dan akan bertindak sebagai media penghantar kalor pada proses pemindahan kalor
dari produk yang di dinginkan ke media pendingin kondensor pada saat
refrigerant menguap dievaporator akan menyerap kalor dari produk yang di
dinginkan, kemudian akan melepaskannya kembali ke media pendingin kondensor
pada saat uap refrigerant tersebut mengalami proses pengembunan.
Jenis refrigerant dibedakan berdasarkan penomerannya sesuai
dengan unsure kimia yang dijadikan sebagai bahan dasarnya. Setiap jenis
refrigerant sesuai dengan bahan dasarnya selalu mempunyai sifat – sifat khusus
yang ditentukan oleh :
·
ASHRAE
( American society heating refrigerating and air conditioning engineering)
yaitu mengklasifikasikan jenis refrigerant berdasarkan bahan dasarnya serta
memberikan standart penomeran dan menetapkan sifat – sifatnya
·
NRSC
(The national refrigeration safety code) yaitu yang mengklasifikasikan jenis
refrigerant berdasarkan pengaruhnya terhadap keselamatan dan keamanan, untuk
itu jenis refrigerant dibagi dalam 3 kelompok
- Kelompok I : refrigerant yang dianggap aman karena tidak beracun
- Kelompok II : refrigerant yang membahayakan karena beracun dan agak mudah terbakar
- Kelompok III : refrigerant yang sangat membahayakan karena mudah terbakar dan menyala
·
NBFU
(The National Board of Fire Underwrites) yaitu : yang menerapkan jenis
refrigerant berdasarkan daya dan kandungan racunnya untuk itu NBFU
memberikan penomeran 1 sampai 6, ditentukan bahwa nomer 1 adalah jenis
refrigerant yang sangat beracun dan berturut – turut sampai nomer 6 adalah
jenis refrigerant yang tidak beracun
Musicool adalah refrigerant dengan bahan dasar
hydrocarbon alam dan termasuk dalam kelompok refrigerant ramah lingkungan,
dirancang sebagai alternatif pengganti freon yang merupakan refrigerant
sintetic kelompok halokarbon; CFC R-12, HCFC R-22 dan HFC R-134a yang masih
memliki potensi merusak alam.
Musicool telah memenuhi persyaratan teknis sebagai
refrigerant yaitu meliputi aspek sifat fisika dan termodinamika, diagram
tekanan versus suhu serta uji kinerja pada siklus refrigerasi. Hasil pengujian
menunjukan bahwa dengan beban pendingin yang sama, MUSICOOL memiliki
keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan refrigerant sintetic. diantaranya
beberapa parameter memberikan indikasi data lebih kecil, seperti kerapatan
bahan (density), rasio tekanan kondensasiterhadap evaporasi dan nilai
viskositasnya, sedangkan beberapa parameter lain memberikan indikasi data lebih
besar, seperti efek refrigeras, COP, kalor laten dan konduktivitas bahan.
3.
PROSES
PEMBEKUAN UDANG
3.1
Diagram
Alur Proses Pembekuan Udang
Proses produksi merupakan
urutan-urutan proses pembekuan udang dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Alur Proses Pembekuan Udang
3.2
Penerimaan
Raw Material / Bahan Baku
Bahan baku / raw material udang yang dibawa oleh pemasok ke perusahaan
dengan menggunakan pick up atau truk
menggunakan wadah blong plastik yang diberi campuran air dan es. Tujuannya
adalah agar suhu bahan baku tetap dingin sehingga mutu udang dapat terjaga.
Bahan baku yang diperoleh perusahaan ini, berasal dari suplier lokal yang berasal dari Banyuwangi, Sidoarjo, Madura. Bahan
baku yang datang dibongkar diruang penerimaan. Proses pembongkaran bahan baku
dilakukan dengan sangat hati-hati tujuannya adalah untuk meminimalisir
kerusakan fisik yang terjadi. Pembongkaran juga dilakukan dengan cepat dan tepat.
Proses pembongkaran dilakukan oleh 5-6 orang pekerja yang semuanya laki-laki.
Kemudian dianalisa antibiotik serta di cek size dan kualitas harus sesuai
dengan permintaan.
Gambar 2. Proses Pembongkaran
3.3
Potong
Kepala (PK)
Potong kepala bertujuan untuk
membersihkan udang dari segala macam bentuk mikroba yang terdapat paling banyak
di kepala. Selama potong kepala udang harus tetap di jaga suhu atau diberi es
disekitar udang ditujukan untuk tetap menciptakan rantai dingin sehingga
perkembangan bakteri dapat diminimalisir.
Gambar 3. Proses Potong Kepala (PK)
3.4
Sortasi
Setelah udang melalui tahap potong
kepala, maka tahap selanjutnya adalah proses sortasi. Tujuan dari proses
sortasi sendiri adalah untuk memilah udang berdasarkan mutu (grade) dan ukurannya (size). Berdasarkan mutunya udang dibagi
menjadi 2 macam yakni grade I dan grade II. Adapun ciri dan karakteristik
masing-masing grade tersebut adalah sebagai berikut :
Mutu (Grade I)
-
Kulit (karapak) masih keras
-
Bau khas udang segar
-
Kulit bersih, tidak ada bintik hitam (black spot)
-
Pada seluruh bagian tubuh udang tidak terdapat
cacat (kaki utuh)
Mutu (Grade II)
-
Kulit (karapak) agak lunak
-
Bau khas udang segar sedikit berkurang
-
Terdapat black
spot pada (bercak hitam) dan pada kulit (karapak) tetapi tidak terlalu
lebar dan banyak
-
Ada bagian tubuh yang hilang khususnya pada
bagian kaki
Untuk grade II biasanya digunakan
untuk bahan baku udang beku dalam bentuk Head
less (HL).
Sedangkan berdasarkan ukurannya (size) udang dibagi menjadi beberapa kelompok seperti pada tabel
berikut :
SIZE
|
LBS
|
L
|
UP-50
|
M
|
50-76
|
S
|
76-101
|
SS
|
102-169
|
SSS
|
170-UN
|
Tabel 2. Size Ukuran Udang Broken
/ Rusak
SIZE
|
LBS
|
8-12
|
11-12
|
13-15
|
14-15
|
16-20
|
19-20
|
24-25
|
24-25
|
26-30
|
29-30
|
31-40
|
39-40
|
36-40
|
35-36
|
41-50
|
49-50
|
42-47
|
45-46
|
51-60
|
59-60
|
61-70
|
69-70
|
71-90
|
82-85
|
91-120
|
108-115
|
100-200
|
130-135
|
200-300
|
260-285
|
Tabel
3. Size Ukuran Udang
Pada saat proses sortasi suhu udang tetap dipertahankan
dingin dengan cara pemberian es curai secara berkala. Meja yang dilakukan
sortasi harus dalam keadaan bersih. Proses pembersihan meja sortasi dilakukan
pada saat sebelum sortasi, saat sortasi (apabila meja kotor), dan setelah
proses sortasi. Proses sortasi dilakukan oleh keseluruhannya perempuan. Alasan
pemilihan pekerja perempuan karena perempuan dianggap lebih teliti dalam
melakukan sortasi.
Gambar 4. Proses Sortasi
3.5 Kupas / Pembersihan
Proses
pembersihan bagian luar atau sering disebut dengan pembersihan karapak (kulit)
udang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan lumut dan kotoran yang
menempel sehingga kontaminasi bakteri dapat dikurangi. Hal ini karena lumut dan
kotoran yang menempel pada kulit udang merupakan sumber bakteri. Setelah
mengalami proses pembersihan luar tepatnya pada bagian karapak (kulit),
selanjutnya dilakukan proses pembersihan saluran pencernaan (usus). Tujuannya
adalah untuk mengurangi kontaminasi bakteri yang berasal dari saluran
pencernaan. Sebab bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan dapat
mempercepat proses pembusukan sehingga menurunkan kualitas udang yang
dihasilkan.
Macam-macam kupasan :
-
PDTO (sisa ruas ke-6 dan ekor)
-
PND (kulit bersih, usus masih utuh)
-
PUD (kulit bersih, tanpa usus/ usus dihilangkan)
Pada saat melakukan proses ini
kebersihan tempat, alat dan pekerja tetap harus dijaga, jika air yang digunakan
kotor maka harus segera diganti. Untuk menjaga kualitas udang agar tetap dalam
keadaan segar maka rantai dingin harus dipertahankan dengan cara pemberian es
pada udang.
Gambar 5. Proses Kupas
3.6
Soaking / Perendaman
Soaking bertujuan
untuk mengembalikan berat udang / mengembangkan setelah melalui beberapa proses
sebelumnya. Larutan yang digunakan untuk
soaking ialah MTR(STTP), Brisol,
Garam dan Air. Untuk suhu panen RPDTO 110C-130C, RPND 100C-120C.
Untuk suhu panen yang berwarna coklat 80C-90C, yang agak
coklat 90C-100C. Untuk suhu lokal 90C-100C.
Sedangkan untuk lama soaking PDTO ± 6 jam dan PND ± 3 jam. Hasil yang didapat
setelah soaking warna lebih bening dan tekstur lebih kenyal.
Gambar 6. Proses Soaking
3.7 Pembekuan
Metode pembekuan yang dilakukan oleh PT. Grahamakmur
Ciptapratama adalah dengan IQF (Individual
Quick Freezing) atau pembekuan cepat dengan suhu – 400C dan
fluktuasi suhu 20C. Pembekuan cepat yaitu proses pembekuan yang
dapat melewati critical zone (wilayah
kritis) dengan cepat, dimana kira-kira 80-90% kadar air membeku menjadi kristal
es, sehingga bila tahapan ini berlangsung cepat maka kristal es yang terbentuk
kecil-kecil dan pada waktu ikan dicairkan mutu ikan beku hampir sama dengan
ikan segar yang belum dibekukan (Ilyas, 1993).
Udang yang dari soaking yang tidak masuk ke mesin IQF adalah
udang yang black tail, belahannnya broken, terjadi perubahan warna (udang
merah). Setelah udang membeku lewat mesin IQF kemudian udang ditimbang lalu diglazing dan dipacking.
Gambar 7. Proses IQF
3.8 Pengemasan
Kemasan
adalah suatu tempat atau wadah yang digunakan untuk mengemas suatu produk, yang
telah dilengkapi dengan tulisan, label, dan keterangan lainnya yang menjelaskan
isi, kegunaan dan hal-hal lain yang dirasa perlu disampaikan kepada konsumen.
Pengemaan dilakukan untuk menjaga mutu bahan pangan selama masa tenggang
penggunaannya, selain itu pengemasan bertujuan untuk memberi nilai tambah pada
produk tersebut dan meningkatkan daya saing terhadap produk sejenis dipasaran
(Susanto dan Sucipta, 1994).
Pengemasan udang dilakukan dengan cara memasukkan
masing-masing udang kedalam plastik polyetilene
sebesar ± dan kemudian diseal.
Pengemasan jenis ini sering disebut dengan pengemasan primer. Udang yang telah
dikemas kemudian dimasukkan kedalam master karton. Pada saat dimasukkan dalam
master karton udang disusun dengan rapi. Master karton yang digunakan harus
memuat informasi tentang produk (jenis produk, size, berat bersih, tanggal produksi, kode produksi dan expired).
Gambar 8. Proses Pengemasan
3.9 Penyimpanan Beku
Produk beku yang telah selesai dikemas dan diberi label
segera dipindahkan menuju cold storage dengan
cepat. Produk yang telah dikemas didata dan dimasukkan kedalam cold storage. Penataan produk di cold storage harus diberi pallet dan
ditata sesuai jenis size dan mutu. Suhu cold
storage dijaga dalam suhu 270C dengan fluktuasi ±20C.
Penyimpanan beku bertujuan untuk mempertahankan suhu ikan setelah dibekukan,
agar dapat disimpan selam 1-9 bulan, tergantung pada keadaan dan jenis ikan,
cara pembekuan, serta kondisi penyimpanan. Namun dengan teknik penanganan yang
ideal ikan dapat disimpan selama lebih dari empat tahun didalam cold storage (Murniyati dan Sunarman,
2000).
Gambar 9. Penyimpanan Beku
4.
SANITASI
DAN HIGYENE
Sanitasi merupakan bagian penting dalam proses pengolahan
pangan yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Sanitasi dapat didefinisikan
sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur
faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit
(Purnawijayanti, 1999). Secara luas, ilmu sanitasi merupakan penerapan dari
prinsip-prinsip yang akan membantu memperbaiki, mempertahankan, atau
mengembalikan kesehatan yang baik pada manusia (Jenie, 1996).
Program sanitasi didalam industri pangan modern merupaka
bagian penting dari sistem pengawasan mutu. Sebagai sub sistem penting dalam
pengawasan mutu, program sanitasi terus terbina dengan kegiatan dan teknologi
yang terus berkembang serta dengan kegiatan sanitasi yang teratur dan disiplin.
Kebiasaan dan sikap sanitasi ditanamkan pada seluruh karyawan industri. Banguna
dan lingkungan pabrik dibangun dengan memperhatikan persyaratan sanitasi. Dalam
dunia industri modern program sanitasi tidak hanya untuk menjaga produk, namun
juga merupakan usaha menjaga mutu lingkungan dan kehidupan masyarakat
(Soekarto, 1990).
Sedangkan hygiene adalah ilmu yang berhubungan dengan
masalah kesehatan, serta sebagai usaha untuk memperbaiki kesehatan. Dalam
pengertian tersebut juga terkandung makna perlunya perlindungan bagi pekerja
yang terlibat dalam proses pengolahan makanan agar terhindar dari sakit,
kecelakaan ataupun prosedur kerja yang tidak memadai (Purnawijayanti, 2001).
Sanitation Standart
Operasional Prosedure merupakan prosedur sanitasi pada produksi pangan yang
diatur oleh Food Safety and Inspection
Service of the USDA yang berdasar pada program persyaratan dari HACCP. SSOP
telah melalui langkah yang harus diikuti untuk menjamin kebersihan dari produk
memadai. Prosedur ini harus secara detail agar pemalsuan produk tidak terjadi.
Industri pangan harus mengikuti konsep kebersihan, meskipun proses otomatis
dibutuhkan (Anonymous, 2012).
Penerapan sanitasi dan hygiene harus selalu diterapkan pada
seluruh tahapan proses produksi. Sanitasi dan hygiene pada unit pengolahan
perikanan bertujuan untuk melindungi konsumen, karyawan serta masyarakat
disekitar unitr pengolahan dari hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin saja
terjadi.
4.1 Sanitasi dan Hygiene Bahan Baku
Bahan baku merupakan obyek penting yang harus diperhatikan
untuk menghasilkan suatu produk akhir yang berkualitas dan higienis. Oleh
karena itu dalam setiap tahapan proses pengolahan bahan baku harus diperlakukan
dengan hati-hati dan cermat serta benar-benar diperhatikan sanitasi dan
hygienenya. Bahan baku akan mengalami
tahap pencucian dalam air pendingin, selain itu untuk menjaga sanitasi dan
hygiene bahan baku, maka seluruh penanganan dilakukan oleh pekerja yang
menggunakan perlengkapan khusus, dengan peralatan yang bersih dan lingkungan
kerja yang sesuai persyaratan pengolahan ikan dan hasil perikanan lainnya.
Kualitas bahan baku sangat diperhatikan dimana pada ruang
penerimaan bahan baku terdapat QC. Bahan baku dengan kualitas rendah tidak akan
diterima dan akan dikembalikan ke suplier. Tetapi jika kerusakan yang terjadi
dalam tahap wajar maka dapat diterima dan ditujukan untuk produk kupasan (HL).
Pada tahap penerimaan terdapat pencucian. Pencucian merupakan cara untuk
menjaga kualitas bahan baku sehingga mutu bisa dipertahankan karena kotoran dan
bakteri keberadaannya bisa dikurangi.
4.2 Sanitasi dan Hygiene Air
Air dalam pengolahan makanan perlu mendapatkan perhatian
khusus karena berperan besar dala semua tahap proses. Air yang digunakan dalam
pengolahan makanan minimal harus memiliki syarat air yang dapat diminum
(Purnawijayanti, 2001).
Air digunakan dalam proses pencucian bahan baku udang,
pencucian peralatan, membersihkan ruang proses, mengisi footbath. Air yang digunakan berasal dari sumber air tanah. Air
terlebih dahulu disimpan dalam tandon penyimpanan air sebelum didistribusikan
keruang proses produksi.
4.3 Sanitasi dan Hygiene Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk proses dilakukan pencucian
setiap kali selesai proses produksi. Peralatan seperti keranjang dan long pan
dibersihkan dengan air mengalir dan disikat, agar lebih bersih dan higienis
digunakan sabun food grade. Meja
proses dibersihkan menggunakan air mengalur setiap kali selesai proses
produksi. Peralatan yang sudah dibersihkan disusun rapi dengan bagian bawah
diberi pallet agar tidak bersentuhan langsung dengan lantai.
Menurut Jennie (1998), pada dasarnya sistem pembersihan
peralatan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) menghilangkan
cemaran, 2) menghilangkan residu cemaran dan detergen atau bahan pembersih dan
3) pembilasan untuk menghilangkan cemaran dan detergen, pencucian peralatan
dapat menggunakan chlorine 10-25 ppm. Pencegahan kontaminasi makanan selama
proses pengolahan pada peralatan merupakan suatu usaha yang sangat penting
karena peralatan merupakan faktor yang erat kaitannya dengan rantai perpindahan
penyakit terhadap bahan pangan.
4.4 Sanitasi dan Hygiene Pekerja
Higiene karyawan merupakan salah satu hal yang sangat
penting untuk diperhatikan industri pangan agar produk makanannya bermutu dan
aman dikonsumsi. Cara higiene karyawan yang baik adalah upaya yang dilakukan
untuk mencegah tercemarnya makanan oleh cemaran fisik, kimia, maupun
mikrobiologis dari tubuh karyawan. Upaya yang dapat dilakukan adalah memupuk
kebiasaan karyawan yang baik dan melatih karyawan untuk meninggalkan kebiasaan
yang buruk (Situmorang, 2008).
Untuk menantisipasikan terjadinya kontaminasi melaluin
pekerja maka antisipasi yang harus dilakukan adalah
-
Karyawan yang bekerja harus dalam keadaan sehat
dan tidak menderita penyakit menular.
-
Karyawan yang menderita sakit, terluka atau yang
menunjukkan gejala sakit dilarang masuk ke ruang proses.
-
Fasilitas dilengkapi untuk kebersihan tangan dan
persiapan senitasi yang efektif.
-
Fasilitas pencucian tangan mencakup :
·
Wastafel yang terletak diarea masuk ruang proses
dan di dalam toilet
·
Kran air
·
Drainase yang mengalir
·
Tempat sabun cuci
·
Tempat tissue yang dilengkapi dengan hand dryer untuk mengeringkan tangan
4.5 Sanitasi dan Hygiene Lingkungan
Sanitasi lingkungan dapat menjadi sumber mikroba yang dapat
mencemari produk pangan. Pengontrolan snitasi lingkungan harus dilaksanakan
sesuai prosedur operasional sanitasi standar (SSOP) yang telah ditentukan.
Sanitasi lingkungan terdiri atas sanitasi didalam unit
pengolahan dan di luar ruangan. Sanitasi didalam unit pengolahan meliputi
sanitasi ruangan, peralatan dan perlengkapan kerja. Sanitasi diluar unit
pengolahan meliputi sanitasi lingkungan perusahaan, tempat penampungan limbah
padat serta saluran pembuangan limbah cair. Sanitasi lingkungan diantaranya
dapat dilakukan dengan menghilangkan debu dan membersihkan lantai (Jenie,
1988).
Sanitasi didalam unit pengolahan dilakukan dengan cara membersihkan
ruang proses setiap kali selesai proses produksi. Pembersihan dilakukan dengan
cara mengepel lantai dengan air yang dicampur kaporit dan sabun. Selain itu
juga terdapat insect killer untuk
mencegah adanya serangga yang masuk kedalam ruang proses produksi.
Limbah padat yang mungkin masih ada biasanya adalah kepala
udang. Kepala udang ini ditampung disebuah keranjang atau tong dan kemudian
dikeluarka lewat pintu kecil yang dibuat khusus untuk membuang limbah. Limbah
padat ini biasanya dijual kembali ke pabrik pakan ternak atau dibuang ditempat
sampah. Sedangkan limbah cair berasal dari sisa pencucian pada proses produksi.
Gambar 10. Limbah Padat
4.6 Sanitasi dan Hygiene Produk Akhir
Produk akhir yang berupa udang beku yang telah dibungkus
dengan plastik polyethylene dan
master karton harus dijaga sanitasi dan hygienenya. Produk akhir yang disimpan
didalam cold storage harus
dihindarkan dari kontaminasi dengan cara penataan produk didalam cold storage dengan diberi pallet bagian
bawah agar tidak kontak langsung dengan lantai.
Selain itu produk akhir juga perlu dihindarkan dari gangguan
binatang seperti tikus dan kecoa. Antisipasi terhadap kemungkinan adanya
binatang pengganggu dilakukan dengan pemasangan plastik curtai dan kasa pada
setiap ventilasi, pemasangan insect
killer dan pemberian saringan pada saluran air. Selai itu juga dipasang
jebakan tikus dan pemberian obat pembasmi tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah , R. 2007. Pengolahan
dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara : Jakarta.
Afrianto , E dan Liviawati E. 2003. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius: Yogyakarta.
Afrianto , E Liviawati E. 2010. Penanganan Ikan Segar. Widya Padjajaran. Bandung.
Arfiati , D. 2006. Diktat
Kuliah Ictyollogi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Brawijaya. Malang.
Binresource . 2009. Thebin Seafood Resource Park Fish Sea
Fisheris Bsal. www. bimse. com Diakses pada tanggal 27 november 2011.
Pukul 17.00 wib.
Chamberlan, Toni, Gabriel Titik. 2001. Seafood Spoilage and Sicknesi
Canada:usp Marine studies Programes.
Dore , I. 2003. The
New Fresh Seafood Buyeris Guide.
Published by Van Nosbrand Reinhold. New York.
Djunarti , Susijahadi dan Y. Witono. 2004. Studi Pembuatan Ikan Pindang Siap Saji
Berdaya Simpan Tingggi. ISBN : 979-99965-0-3.
Gorden, Myron.1931. The Heredutary Busis for Mekanosis in
Hybrids of Maxican Kilifisher. Amerika jurnal of cancel vol 17.
Irianto . H. E dan I soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Bogor.
Jica. 2008. Bantuan
teknis untuk industri ikan dan udang skala kecil dan menengah indonesia. Japang
internasional coopration Agaenay: Jakarta.
Munandar, A ., Nurjanah dan Mola N. 2005. Kemunduran Mutu Ikan Nila Pada Penyimpan
Suhu Rendah dengan Perlakuan Cara Kematian dan Penyiangan . Jurnal
Teknologi Hasil Perikanan Indoneseia vol. XII Nomor. 2. 2009.
Murachman . 2006. Fish Handling. Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang.
Murniyati , A . S dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pebekuan dan
Pengawetan Ikan. Kanisius: Yogyakarta.
Subagio , A , Windrati , W.S., Fauzi., M., dan Y. Witono.
2004. Karakterisasi Protei Miofibril dan
Ikan Kuniran (Upeneus Moluccensis) dan Ikan Mata Besar.
Sumardi . J. A. 2000.
Ikan Segar Mutu dan Cara Pendinginan (review) Teknologi Hasil Perikanan.
Universitas Brawijay, Malang.
Sumardi . J. A. 2005. Diktat
Kliah Pengantar Teknologi Hasil Perikanan Jurusan Managemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang.
Wulandari , S., Sayuh. S dan Asnaini. 2005. Analisi Mikrobiologi Produk Kaleng
(sardines) Kemasan Dalam Limit Waktu Tertentu (expire). Jurenal Biogenesis
vol. 2 hal : 30-35.
Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.
BalasHapusSalam,
(Tommy.k)
WA:081310849918
Email: Tommy.transcal@gmail.com
Management
OUR SERVICE
Boiler Chemical Cleaning
Cooling tower Chemical Cleaning
Chiller Chemical Cleaning
AHU, Condensor Chemical Cleaning
Chemical Maintenance
Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
Degreaser & Floor Cleaner Plant
Oli industri