Sabtu, 23 Juni 2012

kode etik perikanan


KODE ETIK PERIKANAN


TUGAS
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Hukum dan Peraturan Perundangan
yang dibina oleh Bapak Nurdin

Disusun oleh :

NAMA             : ACHMAD FATHONY
NIM                 : 105080301111043
KELAS                        :  C



FPIKUBKementrianPutih.jpg


TEKNOLOGI INDUSTRI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya (stok) udang dengan tingkat pemanfaatan pada tiap lokasi penangkapan udang adalah sangat penting untuk menjamin sistem usaha perikanan tangkap yang efisien secara berkelanjutan.
Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya (stok) udang dengan tingkat pemanfaatan pada tiap lokasi penangkapan udang adalah sangat penting untuk menjamin sistem usaha perikanan tangkap yang efisien secara berkelanjutan. Tingkat upaya penangkapan udang di Delta Mahakam dan sekitarnya, jika melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield), maka terjadi fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit effort), yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan. Sebaliknya jika upaya penangkapan udang dibawah potensi lestari (MSY) atau tingkat MEY (maximum economic yield), maka terjadi kondisi yang kurang optimal. Kondisi suboptimal dapat dikatakan mubazir, karena sumberdaya udang di laut pada waktunya jika tidak ditangkap akan mati secara alamiah (natural mortality) atau dicuri oleh nelayan asing.
Fenomena tangkap lebih (overfishing), disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya udang oleh nelayan, pengusaha perikanan dan pejabat pemerintah, yaitu beranggapan bahwa udang adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources), maka sumberdaya udang dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite) dan anggapan sumberdaya udang di laut sebagai sumberdaya milik umum (common property resources), sehingga berlaku rejim open acces dalam pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja, dapat mengeksploitasi sumberdaya udang sebanyak-banyaknya.
Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka rejim (pola) pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim open acces menjadi rejim perikanan tangkap yang bertanggung jawab (responsible fisheries) seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Conduct of Responsible Fisheries, FAO 1995b). Satu diantara unsur dari Kode Etik ini adalah praktek perikanan tangkap secara terkendali (Dahuri 2002).
Selain itu dampak utama dari sifat yang “open access dan common property
terhadap pemanfaatan dan pengelolaannya adalah :
1.            Kesulitan dalam pengontrolan dan estimasi jumlah stok dari ikan pada setiap musim/periode karena dipengaruhi oleh faktor biologi dan ekologi dari sumberdaya perikanan sebagai faktor alami (makanan, mangsa dan habitatnya), serta berbagai upaya eksploitasi yang dilakukan manusia (bertujuan memaksimumkan resource rent untuk meningkatkan kesejahteraan) sebagai faktor non alami.
2.            Usaha penangkapan ikan di wilayah perairan mengandung risiko dan ketidakpastian (uncertainty) yang relatif besar. Dalam hal ini sumberdaya perikanan bersifat mobile/fugitive, sehingga risikonya adalah kehilangan sejumlah penangkapan dan risiko-risiko penyerta lainnya.
3.            Timbulnya pemanfaatan sumberdaya yang economic overfishing dan biology overfishing. Economic overfishing terjadi jika input (effort) yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan (fishing), melebihi kapasitas produksi, dengan kata lain untuk menangkap ikan dengan jumlah kecil dalam suatu usaha dibutuhkan input yang besar (effort). Implikasinya adalah hasil tangkapan (catch) yang diperoleh, dan dinilai dengan uang (total revenue) < biaya input yang dikeluarkan (TC). Sedangkan biology overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya, sehingga kemampuan ikan bertahan pada keseimbangan produksinya terancam, yang akan mengarah pada kelangkaan (scarcity) sumberdaya perikanan, serta kepunahan beberapa spesies tertentu.
Untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus-menerus secara maksimal, dalam waktu yang tak terbatas, maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan), perlu dibatasi sampai pada suatu tingkat tertentu. Induk-induk udang dalam jumlah tertentu harus disisakan dan diberi kesempatan untuk berkembang biak, sehingga mampu menghasilkan anakan dalam jumlah cukup untuk kelestarian. Tingkat eksploitasi atau pemanfaatan yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap, sebanding dengan tambahan jumlah/kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami.
Dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (access profit) bagi usaha penangkapan ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besarbesaran, dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, social dam budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar.
Usaha perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) merupakan suatu proses perubahan, dimana eksploitasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Konsep usaha perikanan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang,
Palunsu dalam Hastuti (2001), mengemukakan bahwa usaha perikanan yang berkelanjutan mengandung tiga pengertian yaitu :
1.             Memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang
2.             Tidak melampaui daya dukung ekosistem
3.             Mengoptimalkan manfaat dari SDA dan SDM
Pada usaha perikanan yang berkelanjutan, sumberdaya perikanan pada suatu wilayah perairan pada periode waktu tertentu cenderung mengalami perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh faktor alami, juga oleh faktor non alami. Faktor alami meliputi perubahan fisik lingkungan suatu perairan, keterbatasan makanan dan sumber hara lainnya serta predator, sedangkan faktor non alami ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan yang tidak terkendali. Sehingga perlu dilakukan perikanan yang berkelanjutan agar tidak terjadi pemunahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar